Perikanan/Pertanian/Perkebunan

Cari Blog Ini

Sabtu, 12 November 2011

KETIMPANGAN MUTU PENDIDIKAN DAN SDM DI INDONESIA

 Sekolah di Papua ( foto :aristmundo.blogspot.com)
Indonesia merupakan negara yang jumlah penduduk  serta aset sumberdaya manusia yang sangat besar akan tetapi pemerintah belum berhasil dalam meningkatkan mutu sumberdaya manusia serta  pendidikan secara merata. Walaupun kenyataannya pemerintah telah menggelontorkan anggaran seperlima dari APBN , dan jumlah ini merupakan jumlah anggaran yang sangat besar, tapi masih belum mampu meningkatkan mutu pendidikan serta menciptakan angkatan kerja yang berkualitas. Ketimpangan mutu pendidikan di Indonesia, akan menimbulkan jurang pemisah, terutama untuk daerah-daerah kawasan timur Indonesia dan selama ini sepertinya pendidikan dan sumberdaya manusia yang cukup berkualitas hanya terpusat di dua pulau yaitu Jawa dan Sumatera dan sebagian Sulawesi, sedangkan di luar kedua pulau tersebut peningkatan mutu pendidikan serta SDM dan perbaikan ekonomi masih jauh dari harapan, ketimpangan ini juga terlihat dari pendapatan perkapita   penduduk, menurut data yang dirilis UNDP bahwa pendapatan rata-rata per kapita di Jawa dan Sumatera adalah 3000 US$,  sementara di luar kedua pulau itu adalah 1000 US$. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi dan kualitas SDM yang dimiliki dari angkatan kerja di Indonesia. Walaupun pendapatan perkapita tidak dapat dijadikan dasar untuk mengukur ketimpangan mutu SDM dan mutu pendidikan di Indonesia, tapi paling tidak mutu SDM dan pendidikan adalah salah satu tolok ukur kualitas angkatan kerja.  Angkatan kerja SD dan tidak tamat SD amat melimpah padahal demografi pendidikan yang dicanangkan dengan WAJAR 9 tahun merupakan produk angkatan kerja yang baik , tapi angkatan kerja  yang banyak dipekerjakan justru adalah SD dan tidak tamat SD. Walaupun sekolah kejuruan sudah diupayakan didirikan untuk menumbuhkan angkatan kerja berkualitas, selain itu pendidikan kejuruan D3 bermunculan dengan segenap keterampilan yang dimiliki, tetapi hal ini belum berhasil diserap untuk menumbuhkan angkatan kerja yang baik, justru tamatan pendidikan keterampilan masih banyak terjebak dalam kubangan pengangguran terpelajar.
Mutu manusia Indonesia tidak terlepas dari faktor pendidikan, dan pendidikan yang berkualitas harus ditopang oleh SDM pendidik yang mumpuni, celakanya pendidik yang berkualitas terutama tamatan dari lembaga /Universitas ternama enggan ditempatkan di daerah terpencil dan tersentral di perkotaan , dan kenyataannya pendidik di daerah terpencil hanya berpendidikan SMA itupun masih untung, ada saja yang mengajar hanya dibekali keberanian walaupun tidak tamat SMA. Selain itu mereka  hanya diupah uang lelah dari dana BOS maksimal sebesar  300.000 rupiah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana mutu pendidikan mau berkualitas kalau yang pengajarnya saja masih kembang kempis bertarung dengan kehidupan yang layak.  Sehingga pendidikan yang disampaikan asal-asalan, walaupun ada jadwal mengajar yang telah disusun akan tetapi aplikasinya masih acak-acakan. Malah cenderung ada unsur pembiaran dalam proses pembelajaran yang diberikan. Hal ini dapat  disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, ketimpangan ekonomi antar daerah, penghasilan yang tidak memadai, tempatnya jauh dan terpencil, serta sarana prasarana dalam proses belajar mengajar kurang mendukung. Selayaknya pendidik yang sudah dipekerjakan oleh pemerintah serta penempatannya tidak merata dan tidak mau ditempatkan di daerah terpencil di luar Jawa dan Sumatera, harus diupayakan agar pemerintah memberikan porsi lebih banyak dalam pengangkatan di daerah yang masih kurang tenaga pendidiknya. Hal itu diperparah dengan ketimpangan perlakuan antara Sekolah Negeri dan Sekolah Swasta, padahal keberadaan sekolah yang dikelola oleh lembaga atau yayasan  jumlahnya lebih banyak, dan disana terdapat tenaga kependidikan yang belum diperhatikan secara serius oleh lembaga atau yayasannya. Dan mereka cenderung diberi upah yang tidak layak dan terkesan asal-asalan, sehingga imbasnya kualitas peserta didik akan terabaikan.
Selain porsi tenaga kependidikan yang harus diperhatikan adalah bagaimana kepedulian pemerintah dalam menjaga aset SDM yang bermutu yang telah ada, jangan sampai sumberdaya yang baik dan berkualitas serta hasil susah payah negara dalam memberikan beasiswa kepadanya banyak dibajak oleh negara-negara yang sedang gencar meningkatkan sumberdaya manusianya. Kita  tak perlu menyalahkan mereka dan negara penampungnya, karena itu sudah pilihan hidupnya, dan mereka mencari dan mengharapkan penghargaan yang layak. Maka sudah saatnya pemerintah memberikan penghargaan yang layak bagi para guru, dosen dan peneliti kita walaupun terbentur anggaran yang tersedia tetapi hal ini harus diupayakan sekuat tenaga. Kalau negara mereka sanggup kenapa kita tidak. Dulu saja kita sanggup menjadi negara yang terkenal akan sumberdaya manusia yang berkualitas, tapi sekarang di era globalisasi serta disaat-saat persaingan bebas yang ketat antar negara kita nyaris terjerumus kedalam gulungan ombak keterbelakangan sumberdaya manusia.
Keterbelakangan mutu pendidikan juga tidak terlepas dari kebijakan kurikulum yang dirancang, kita telah terjebak oleh ketidak konsistenan dalam kebijakan kurikulum yang selalu berubah setiap berganti presiden dan menteri , sebut saja dari mulai sistem Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) sampai sekarang sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sudah berulang kali berubah-ubah, hal ini dapat berimbas terhadap keberhasilan mutu pendidikan di Indonesia. Karena kurikulum yang dibuat tidak dikaji sesuai jenjang waktu, proses pelaksanaannya dan evaluasi keberhasilan secara konprehensif. Kita tidak sadar bahwa keberhasilan mutu pendidikan dan sumberdaya manusia akan terlihat dengan rentan waktu yang cukup lama. Suatu hal yang kurang meyakinkan jika kita mengukur keberhasilan itu hanya dengan kurun waktu yang singkat. Untuk itu perubahan kurikulum perlu jeda waktu yang cukup lama serta perlu perencanaan (planing) yang jelas. Dan kenyataannya pendidikan yang digulirkan oleh pengambil kebijakan tidak mempunyai planing yang cukup jelas, antara strategi serta target yang ingin dicapai.
Dalam menghadapi tantangan global dan mengejar ketertinggalan kita dalam pengelolaan sistem pendidikan untuk menciptakan sumberdaya manusia yang handal, menurut saya perlu adanya kurikulum yang tepat dan akurat diantaranya menciptakan kurikulum gebrakan ( Soft Skill) diantaranya keterampilan, naluri peserta didik dalam berbahasa, berbudaya, nilai moral yang baik serta kewirausahaan dan lain-lain. Sebab selama ini kita selalu menerapkan pendidikan dengan kurikulum Hard skill, dimana peserta didik dituntut untuk mampu menghafal serta pandai secara akademik tanpa diimbangi oleh kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Padahal hard skill dapat menyumbangkan keberhasilan pendidikan sebesar 20 % saja sedangkan soft skill dapat menuyumbangkan keberhasilan pendidikan sampai 60 %.
Pembuat kebijakan hanya mengukur kecerdasan dari sejauh mana kemampuan peserta didik dalam menempuh ujian dengan nilai yang sudah distandarisasi dengan cara penyeragaman, tanpa melihat sejauh mana ketimpangan sumberdaya pendidik, serta sumberdaya manusia yang dimiliki oleh daerah tersebut. Hal yang perlu dicatat bila di Jakarta di target nilai standar 7,5  maka secara otomatis di daerah terpencil yang terbelakang dengan minim sarana dan prasarananya juga akan diberlakukan dengan  standar nilai rata-rata yang sama. Hal ini akan memicu keterpaksaan dari  lembaga pendidikan di daerah terbelakang tersebut untuk mengejar nilai yang telah ditetapkan dengan cara-cara yang tidak jujur. Dampaknya akan mengganggu psikologis dan perilaku pendidik dan peserta didik itu sendiri, sehingga kalau dibiarkan maka 25 tahun yang akan datang Indonesia akan menghasilkan sumberdaya manusia yang tidak percaya diri serta ketidak jujuran bukan barang yang aneh, dari buah sistem pendidikan yang kita terapkan saat ini.
Selain itu mutu pendidikan serta sumberdaya manusia hendaknya diupayakan agar setiap anak bangsa dapat menikmatinya secara merata tanpa pandang bulu, karena hakekatnya hak memperoleh pendidikan yang layak adalah hak warga negara seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Hal itu diperkuat oleh UU sistem pendidikan nasional Bab III pasal 4 ayat 1 yaitu pendidikan diselenggarakan secara demokratis  dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi  hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Sehingga sudah sewajarnya hak memperoleh pendidikan tidak tersentral di satu atau dua pulau semata. Selain itu hendaknya tidak ada lagi pengkotakan status sekolah serta peruntukannya. Saya melihat bahwa sekolah-sekolah bermutu cenderung dinikmati oleh orang-orang dari kalangan tertentu dikarenakan ada slogan bahwa pendidikan yang bagus adalah pendidikan yang biayanya mahal.  Masuk akal memang, tapi apakah tidak mendistorsi keinginan anak bangsa yang prestasinya bagus namun keterbatasan dana untuk menempuhnya.
Berangkat dari yang diutarakan saya diatas, pemerataan mendapatkan pendidikan adalah hal yang patut kita cermati, sehingga hal-hal yang akan mengakibatkan ketimpangan kualitas sumberdaya manusia yang muaranya ketertinggalan bangsa ini hendaknya menjadi buah pikiran seluruh elemen bangsa, sebab bukan tidak mungkin hal ini akan mengakibatkan kelemahan generasi kita dimasa yang akan datang.  Seorang ahli ekonomi dari Universitas Oxford berpendapat bahwa pada tahun 2050 Indonesia diprediksi akan menjadi negara super power di dunia. Menurut pendapat saya jika penangganan sumberdaya manusia dengan  memperhatikan pengelolaan pendidikan yang baik maka pada tahun 2025 Indonesia akan menjadi negara super power. Hal itu kita perlu bercermin terhadap keberhasilan Singapura dalam mengelola sumberdaya yang baik, kalau kita hitung dari mulai tahun 1965, berarti dalam jangka waktu 45 tahun mereka berhasil membangun sistem pendidikan dan SDMnya  dan menjelma menjadi raksasa ekonomi di Asia Tenggara bahkan di dunia. Saya berasumsi kalau Singapura yang minim sumberdaya alam dan luasnya hanya sepelemparan batu saja dibanding Indonesia sanggup  seperti itu, kenapa Indonesia yang luasnya jutaan kilometer persegi dengan sumberdaya alam yang melimpah dan jumlah penduduk yang banyak tak mampu melampauinya.
Kita menyadari pekerjaan ini adalah bukan pekerjaan yang mudah, disamping kita mempunyai wilayah yang sangat luas serta jangkauan antar daerah juga cukup sulit karena dikelilingi oleh lautan serta infrastruktur yang belum maksimal. Dan yang lebih rumit lagi kita dihadapkan terhadap SDM yang multi etnik. Akan tetapi semua itu tidak menjadi sebuah alasan sebab dengan teknologi informasi yang semakin pesat bukan suatu hal yang mustahil kita dapat berkomunikasi dengan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Dan keragamanan etnik itu paling tidak dapat diantisipasi dengan pendidikan yang tidak mengenyampingkan kearifan lokal dalam kurikulumnya dan keragaman etnik justru akan menjadi modal dan kekuatan bangsa ini untuk menjadi bangsa yang besar. Suatu hal yang cukup cerdas jika dari awal pendidikan dasar dan menengah sampai pendidikan tinggi, peserta didik diarahkan kepada sejauh mana minat serta bakat mereka sendiri. Sehingga kedepan kita tidak kesulitan untuk mendapatkan teknokrat yang unggul, atlet yang disegani di dunia, negarawan yang menjadi panutan, seniman yang menjadi inspirator dan lain-lain. Selama ini peserta didik dipaksa untuk menekuni berbagai bidang ilmu dan akhirna peserta didik hanya mampu mendapatkan satu lembar ijazah tanpa ahli dalam satu bidangpun.
Untuk mencapai yang dicita-citakan bangsa ini yaitu menuju bangsa yang adil dan makmur tentunya perlu langkah-langkah yang tepat dalam pembangunan SDM utamanya pendidikan yang merata terhadap seluruh anak bangsa. Hal itu termaktub dalam visi dan misi pendidikan Nasional diantaranya, mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia,mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka  mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik  agar menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara  yang demokratis dan bertanggung jawab ( lembar tambahan UU Sisdiknas , hal 72-73).
    Perhatian serta kepedulian pemerintah terhadap pembangunan pendidikan dan sumberdaya manusia hendaknya memberikan ruang yang luas untuk segenap elemen bangsa dalam mendapatkan pendidikan yang layak dan bermartabat.  Dengan demikian ketimpangan pendidikan di Indonesia tidak terus menerus terjadi, dan jika penangganan SDM serta mutu pendidikan dapat dilakukan secara merata dan berkesinambungan maka tidak akan ada lagi kata iri hati dari sebagian elemen bangsa, atau merasa dianaktirikan dalam berbangsa dan bernegara, serta tidak merasa dilibatkan dalam pembangunan bangsa  yang dampaknya akan mengarah kepada disintegrasi bangsa.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar