Perikanan/Pertanian/Perkebunan

Cari Blog Ini

Jumat, 17 Agustus 2012

MENJAGA EKSISTENSI IBADAH RAMADHAN


Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (Al-Baqarah 183).

Ayat diatas menyerukan kepada orang-orang yang beriman agar menjalankan ibadah puasa. Dalam ayat ini juga diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa,  sehingga tak masalah orang yang tidak melakukannya jika dia tidak merasa beriman kepada Allah, karena ayat diatas menyeru kepada orang beriman saja. Pada  akhir ayat juga dijelaskan bahwa jika ingin keutamaan ibadah serta ingin  mencapai derajat taqwa maka lakukanlah puasa.
Momentum ramadhan merupakan bulan dimana kesempatan melipatgandakan perbuatan baik itu terbuka lebar. Akan tetapi ketaqwaan dalam momentum bulan puasa bersifat paradoks, dimana ketaqwaan sering diidentikan dengan sekedar rajin menjalankan ritual agama, seperti rajin tahajud, rajin shalat dhuha, rajin i’tikaf di mesjid, sering menghatamkan Al-Qur,an dan lain sejenisnya. Sayangnya transformasi nilai - nilai luhur ke dalam sikap dan perilaku kurang diperhatikan. Kita sangat bersyukur dengan datangnya bulan ramadhan, semarak tadarus bersahut-sahutan, penyisiran tempat maksiat dan tempat mabuk-mabukan marak dilakukan.  Momentum apa yang dilakukan oleh umat muslim saat ini sangat menggembirakan, sebab rajin menjalankan ibadah baik wajib maupun sunah adalah penting dan mutlak.  Namun menurut hemat saya akan lebih baik lagi, bagaimana umat Islam dapat menangkap makna di balik semua ibadah tersebut serta mampu ber-mujahadah mengaktualisasikan dalam kehidupan sosial.
Umat Islam diantaranya sering kehilangan identitas puasanya, dimana lapar dan haus ditahan, hawa nafsu jalan terus, hal itu adalah salah satu bentuk ketidakmampuan dalam mentransformasikan makna puasa kedalam sikap dan perilaku yang diharapkan oleh tujuan puasa itu sendiri.  Ketidak mampuan itu tercermin dari bagaimana ketika kita bertindak serta berperilaku di luar batas kewajaran yang sepantasnya dilakukan, tengok saja bagaimana kita berakhlak makan dan minum setelah menjalankan puasa seharian penuh. Beberapa waktu yang lalu saya membaca di media massa bahwa permintaan bahan pokok dan lauk pauk selama bulan puasa meningkat tajam, import gula melambung. Padahal sepatutnya ketika ramadhan tiba kita harus siap menahan dari serangan nafsu yang menggempur dari segala sudut. Kalau melihat data yang diungkapkan media tentang meningkatnya kebutuhan bahan pokok tersebut, jelas kita telah kehilangan makna dalam menjalankan puasa, sebab tujuan puasa adalah mendidik agar seluruh jasmani dan rohani  terdidik, tapi ujungnya ternyata terjebak kedalam sifat boros yang merupakan perbuatan yang dilakukan oleh syaitan. Keteraturan dalam berakhlak sosialpun demikian, sebagai contoh bagaimana kita mengantre di loket, bagaimana kita berakhlak di jalan raya, tentunya makna puasa yang sesungguhnya belum dijalankan. Kalau melihat tujuan puasa sesungguhnya kita belum mampu mentranspormasikan hikmah puasa ke dalam kehidupan sosial yang sebenarnya. Selayaknya perbuatan yang ketika ramadhan dilakukan harus tetap terjaga walaupun selesai ibadah puasa untuk mencapai derajat taqwa. 
Dalam catatan sejarah Umar bin Khatab, ada seorang sahabat namanya Ubay bin Ka’ab, mengungkapkan bahwa hakikat taqwa  adalah berusaha menghilangkan kejahatan di ranah publik secara intens, sistematis dan berkelanjutan. Hal tersebut cukup menjelaskan bagaimana seorang muslim seharusnya bertindak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kejahatan dimaksud bukan hanya kejahatan kriminal seperti apa yang kita bayangkan. Akan tetapi kejahatan yang kita lakukan bisa berbentuk kejahatan terhadap diri sendiri, keluarga, tetangga, masyarakat dan lingkungannya. Kejahatan terhadap diri sendiri tentunya perbuatan-perbuatan yang tercela yang merugikan diri kita sendiri seperti mencela, memfitnah, mengadudomba, kikir, sombong, tidak berkata jujur dan lain-lain. Begitupun kejahatan terhadap keluarga serta tetangga diantaranya perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu baik fisik maupun non fisik (mental, spiritual), yang dilakukan terhadap sanak keluarga dan tetangga. Dalam sebuah hadist dikatakan “ Sesungguhnya antara seorang muslim dan muslim yang lainnya adalah ibarat satu tubuh, jika salah satu anggota tubuh sakit maka tubuh yang lainnyapun akan merasakannya”, maka cukup jelas bagaimana kita bersikap dan bertindak terhadap sesama muslim, terlebih keluarga dan tetangga. Kejahatan yang harus dihindarkan juga adalah kejahatan terhadap masyarakat karena kejahatan ini menyangkut kejahatan terhadap masyarakat luas dan kemaslahatan umat, kita cukup prihatin dengan kejadian yang diberitakan oleh media cetak dan elektronik menyangkut kasus korupsi ataupun dugaan korupsi yang merugikan orang banyak justru semakin bermunculan di bulan puasa, walaupun bisa jadi oknum yang melakukan perbuatan  itu sedang menjalankan ibadah puasa. Memang hal tersebut bukan menjadi satu-satunya indikator keberhasilan ibadah puasa, akan tetapi sudah dapat dijadikan salah satu indikator berhasil atau tidaknya kita mentransformasikan makna puasa  ke dalam kehidupan sosial yang sesungguhnya.
Seperti telah kita ketahui begitu mulianya bulan Ramadhon, sampai-sampai  Alloh menjanjikan kepada ahli sya’um akan diganjar masuk sorga melalui pintu yang khusus yaitu pinti Ro’yan. Ibadah dilipatgandakan baik sunah maupun wajib. Selain dilipat gandakan seluruh amalan, Alloh memberikan keistimewaan salah satu malam di bulan ramadhan yaitu malam lailatul qadar,  dimana amal ibadah kita dilipat gandakan menjadi 80 tahun nilai ibadah. Sungguh suatu kesempatan serta keberuntungan yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Kita harus terus berharap dan terus berusaha untuk mendapatannya guna mencapai derajat muttaqin. Mengutip syair Abunawas “Aku tidak layak masuk sorga tapi tak sudi masuk neraka”, begitupun halnya dengan Lailatul Qadar, “ Kita tidak pantas mendapatkannya namun tak mau menjadi orang merugi”. Lailatul Qadar adalah hal yang penting kita raih namun yang tak kalah pentingnya adalah kita masih dapat memelihara eksistensi ibadah bulan ramadhan ke ranah kehidupan sosial selepas bulan ramadhan. Sehingga mampu mentransformasikan bulan ramadhan serta mampu terus merubah, dan pandai memelihara sikap dan perilaku  yang baik guna mencapai derajat muttaqien.

NILAI-NILAI DASAR BUDAYA KERJA APARATUR NEGARA


Oleh : Dadang Rusnandar

ABSTRAK

Aparatur sering dipahami sebagai majikan, pimpinan, pengelola, serta penentu kebijakan dengan tanpa campur tangan pihak lain. Padahal seyogyanya aparatur adalah sebagai pelayan, pengayom, penyumbang tenaga serta pikiran bagi kebaikan organisasi dan kejayaan bangsa, memiliki  kerja secara kolektif dengan menghasilkan tujuan organisasi yang diinginkan. Dalam pelaksanaan guna pencapaian tujuan organisasi  tersebut serta demi pembangunan negara maka perlu  jiwa dan tindak-tanduk aparatur yang disesuaikan dengan hukum dengan dilandasi  perundangan yang berlaku serta diikat oleh nilai dan moral yang dimiliki oleh aparatur itu sendiri. Hal yang perlu dilakukan dan diupayakan adalah  teraplikasinya  nilai-nilai budaya serta perilaku aparatur yang baik.

Kata Kunci : Aparatur, nilai-nilai dasar budaya kerja, perilaku aparatur


I. Pendahuluan
a.   Latar Belakang

Jika diamati dengan seksama, persoalan yang menjadikan aparatur negara kurang amanah salah satunya disebabkan oleh terabaikannya faktor moral dan etika. Konsentrasi aparatur negara lebih banyak bernuansa materi, faktor rohani sangat jarang menjadi perhatian begitu juga dengan faktor moral. Menurut Vonita (2010), untuk membangun negara yang baik maka terlebih dahulu membangun peradaban manusia yang baik, hal ini dapat terwujud dengan membangun individu-individu yang akan membentuk masyarakat itu sendiri. Sebab individu merupakan pondasi dari masyarakat. Tanpa memperhatikan hal tersebut, peradaban yang baik sesuai dengan tujuan bangsa kita tidak akan terwujud. Permasalahan yang mendasar adalah ketika menemui aparatur yang kurang baik, maka semua sibuk mencelanya tanpa dapat memberikan solusi. Bahkan kadang bertindak naif, manakala orang lain berbuat salah, maka dengan bangga ikut-ikutan membuntuti perbuatan itu.
     Sebagai aparatur negara sangat rentan terimbas hal yang negatif (jiwa tak amanah), akan tetapi paling tidak, aparatur negara harus pandai meminimalisasi perbuatan yang kurang dipahami oleh akal sehat. Selayaknya sebagai aparatur negara perlu membuka pikiran untuk menaruh minat dan memantapkan niat untuk senantiasa berpihak kepada rakyat, hal itu diperlukan pemahaman tentang etika yang baik, pemikiran yang fundamental dan mendalam tentang kebenaran. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah etika serta fungsi aparatur dalam proses kebijakan publik, pelayanan publik, pengaturan/penataan kelembagaan, dan pembinaan. Sedangkan landasan etika dalam organisasi aparatur yaitu falsafah pancasila, konstitusi UUD 45, TAP MPR, UU pemerintahan daerah dan lain sebagainya.
    Dengan makin besarnya peran aparatur dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara maka aparatur adalah sebagai agen pembaharu, pelayan dan pemberdaya masyarakat. Untuk menunjang keberpihakan terhadap masyarakat, maka aparatur harus mampu merumuskan dan melaksanakan kebijaksanaan yang berfungsi sebagai motivator dan fasilitator guna tercapainya swakarsa dan swadaya masyarakat termasuk berusaha meningkatkan kinerja serta bersikap dan perilaku.
       Untuk menjadi aparatur yang bersikap serta berperilaku yang baik tentunya perlu menanamkan nilai-nilai dasar budaya kerja aparatur negara, diantaranya mampu melakukan komunikasi dengan diri sendiri dan orang lain, mampu bersikap empati dengan meningkatkan kecerdasan spiritual disamping kecerdasan intelektual. Seorang aparatur harus mampu mengelola emosi dalam bertindak, tidak arogan serta tidak mudah menjustifikasi atau bersuudzhon terhadap atasan atau bawahan bahkan dengan masyarakatnya sekalipun.

b.   Perumusan Masalah
      Aparatur adalah abdi negara, yang keberadaannya semata-mata untuk mengabdikan dirinya  kepada negara dan bangsa serta kesejahteraan rakyat. Akan tetapi pada perkembangannya aparatur belum menunaikan kewajibannya secara  optimal, hal ini belum menjiwai hakikat pengabdian dan belum mempelajari hakikat nilai dasar pengabdian. Dengan demikian penulis terpanggil untuk menyampaikan nilai-nilai dasar budaya kerja aparatur negara sebagai pedoman dasar bagi aparatur dalam bersikap dan berperilaku. Dalam tulisan ini penulis ingin menggali pertama, dimana letak kelemahan aparatur negara dalam kegiatan pelaksanaan tugas dan yang kedua, apa saja nilai-nilai dasar budaya kerja aparatur negara yang semestinya dilakukan.
c.   Tujuan Penulisan
          Tulisan  yang meliputi nilai-nilai dasar budaya kerja aparatur negara, diharapkan dapat membantu dalam memberikan acuan atau bahkan inspirasi bagi aparatur negara karena tidak semua aparatur memahami konsep serta implementasi etika serta nilai-nilai dasar budaya kerja. Selain itu tulisan ini diharapkan dapat  :
1.   Mengetahui nilai dasar budaya kerja aparatur negara serta perilaku yang berkaitan dengan budaya kerja aparatur negara dalam menjalankan tanggungjawabnya.
2. Memberikan solusi terhadap patologi budaya kerja aparatur negara, terkait Good Governance, pelayanan publik, dilihat dari sistem budaya kerja.
d.   Metode Pengkajian
      Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah melalui metode kajian pustaka yaitu melalui teori-teori yang ada kaitannya dengan tema kajian dalam tulisan ini.

II.    Landasan Teori

  Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos (tunggal) atau kebiasaan, adat, watak, perasaan, siap dan cara berfikir. Sedangkan Ta Etha (jamak) yang berarti adat istiadat. Dengan demikian etika adalah tata nilai perilaku yang dianggap baik, lazim serta patut dilakukan. Menurut Plato (427-348 SM) tujuan etika adalah menemukan aturan dan arahan agar kehidupan manusia dapat menjadi utuh dan bulat, sehingga manusia tidak hanya dapat mempertahankan hidupnya melainkan juga mencapai hidup yang bernilai.
 Selanjutnya Al Farabi (870-950) dalam Vonita (2010), menurutnya konsep moral adalah berhubungan dengan jiwa dan politik, empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat yaitu : keutamaan teoritis, keutamaan pemikiran, keutamaan akhlak, dan keutamaan amaliah. Selain mengutamaan keutamaan ia juga menyarankan agar bertindak tidak berlebihan karena dapat merusak jiwa dan fisik, tetapi mengambil posisi di tengah. Lebih lanjut Sondang P Siagian (2000), aparatur negara harus mampu menghadapi tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi, sosio-kultural dan teknologi.
       Berdasarkan pengertian-pengertian yang penulis jelaskan di atas , maka pembinaan mental yang dimaksud adalah usaha, tindakan, kegiatan yang dilakukan dengan berdayaguna serta berhasilguna untuk mencapai hasil yang lebih baik tentang cara berfikir dan perasaan untuk berbuat, bersikap dan melaksanakan kewajiban serta fungsinya sebagai aparatur negara.

III.  Pembahasan

       Dalam menghadapi tugas yang semakin kompleks serta kemajemukan masyarakat yang dihadapi, sebagai seorang aparatur negara harus mampu bersifat statis serta dinamis dalam mengendalikan diri. Dapat dipahami  dengan tekanan beban kerja yang berat dengan tidak diimbangi oleh upah yang layak maka dapat dibayangkan bagaimana hasil kerja yang dicapai. Secara teoritis upah akan berpengaruh terhadap hasil kerja, cara kerja, budaya kerja, akan tetapi hal tersebut bukan dijadikan alasan, apalagi berdalih jika upah yang belum dapat mensejahterakan tersebut berdampak kepada kinerja, sebab lahirnya aparatur negara hakekatnya adalah pengabdian. Ada beberapa kelemahan aparatur negara dalam mengemban tugasnya, menurut Sondang P Sagian (2000), beberapa patogoli birokrasi yang dijumpai antara lain ;
1.    Penyalahgunaan wewenang serta tanggungjawab dan pengaburan masalah serta pengalihan beban.
2.    Adanya indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme.
3.    Adanya indikasi status quo, empire bulding (membina kerajaan)
4.    Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko yang diambil.
5.    Ketidak pedulian terhadap kritik dan saran dari rakyat.
6.    Takut mengambil keputusan, karena adanya indikasi kesalahan.
7.    Kurangnya kreativitas dan eksperimen dalam pembangunan
8.    Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif, dan misi yang mantap.
9.    Minimnya pengetahuan dan keterampilan.
       Dari semua point di atas ada beberapa sebab yang menjadi hal tersebut terjadi, tentunya sudah merupakan tanggungjawab aparatur itu sendiri baik secara individu maupun organisasi. Langkah-langah yang perlu diambil  yaitu aparatur harus mampu menterjemaahkan dan mengaplikasikan nilai-nilai dasar budaya kerja aparatur negara.

Nilai-Nilai Dasar Budaya Kerja Aparatur Negara

          Upaya untuk senantiasa mendorong aparatur memahami kewajiban, tanggungjawab dan amanah yang diemban setelah menyatakan diri sebagai abdi negara, maka salah satu lembaga yang intens memberikan bimbingan secara resmi itu diantaranya Badan Diklat, dimana aparatur negara dibekali berbagai macam bidang ilmu agar aparatur mampu memberikan pelayanan yang prima atau excelent service bagi masyarakat secara keseluruhan. Namun hal itu tidaklah cukup hanya sebatas teoritis tanpa aplikatif, tetapi pelatihan diharapkan mampu menciptakan dirinya (individu aparat) atau organisasi memobilisasikan dirinya. Adapun Dharma dalam Sopian (2011),  menjelasan bahwa dimensi reframing dalam aplikasinya dilakukan melalui tiga unsur yaitu (1) mencapai mobilisasi (achieve mobilization), (2) menciptakan visi (create vision), (3) membangun sistem pengukuran (build a measurement system). Hal senada diungkapkan oleh Espejo,et.al (1996), mengemukakan bahwa organisasi dituntut untuk mengembangkan  kompetensi SDM yang dimiliki sehingga organisasi mampu memberikan kinerja terbaiknya serta memiliki kemampuan daya saing.
     Kompetensi aparatur negara akan meningkat jika dapat ditemukan cara yang benar didalam meningkatkan variabel kompetensi aparatur itu sendiri, hal tersebut meliputi knowledge sebagai basis yang memberikan pengaruh terhadap peningkatan pada variabel ability, skill dan altitude. Persoalan mendasar bagaimana cara yang efektif dan efesien dalam meningkatkan kompetensi aparatur negara. Hal ini dapat dijawab dengan sejauhmana aparatur dapat mengaplikasikan nilai-nilai dasar budaya kerja sebagai abdi negara.
     Nilai budaya kerja aparatur agar tercapai sikap dan perilaku yang baik dapat diperoleh dan diyakini akan memperoleh budaya kerja yang baik dan maksimal jika :
1.    Aparatur bersikap komitmen dan konsisten dalam bekerja
Seorang aparatur negara harus komitmen dan konsisten dalam mencapai visi dan misi serta tujuan organisasi. Aparatur harus mampu mengelaborasikan mind setting terhadap tujuan organisasi. Menurut Muliawati (2009) pola pikir adalah sebuah transpormasi dalam mengatasi hambatan dalam mental dan penetapan pola pikir pencapaian tujuan organisasi. Sehingga pola pikir (mind setting) sangat besar pengaruhnya dalam pengembangan budaya kerja. Hal tersebut disebabkan karena dalam pengembangan budaya kerja membutuhkan fleksibilitas berfikir. Khususnya apabila pengembangan budaya kerja berlawanan dengan apa yang dianut sebelumnya.
2.     Aparatur mempunyai wewenang dan tanggung jawab.
Wewenang dan tanggungjawab kadang sering dikesampingkan karena sering tumpang tindihnya tupoksi yang diberikan akhirnya terjadi tumpang tindih wewenang dan tanggungjawab, hal ini disebabkan karena tidak adanya kejelasan serta ketegasan dalam pemberian wewenang dan kebijakan, sehingga dapat terjadi satu tugas dikerjakan oleh dua orang atau satu bidang dikerjakan oleh dua institusi. Oleh karena itu untuk mempertajam budaya kerja aparatur yang baik, hendaknya wewenang dan tanggungjawab harus diberikan atau dikerjakan dengan jelas, tegas dan seimbang.
3.    Aparatur memiliki keikhlasan dan kejujuran dalam bekerja
Jika aparatur bersikap ikhlas dan jujur maka kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik akan  terpenuhi. Karena keikhlasan dan kejujuran akan menumbuhkan kepercayaan dan kewibawaan pemerintah serta akan tercapai indeks kepuasan publik. Hal tersebut diperkuat oleh KEPMENPAN Nomor 63 tahun 2003 tentang pedoman Umum penyelenggaraan Pelayanan Publik, bahwa indeks kepuasan masyarakat adalah tingkat kepuasan masyarakat dalam memperoleh pelayanan dari penyelenggara atau pemberi pelayanan sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat.
4.    Aparatur mempunyai integritas dan profesionalisme yang mumpuni
     Dalam realita empirik  bahwa pola pikir aparatur yang sudah terbentuk selama ini menunjukkan pada kecenderungan lebih mengabaikan mekanisme pelayanan publik karena selain integritas yang rendah juga tidak diimbangi oleh profesionalisme yang memadai. Oleh sebab itu maka aparatur tidak  konsisten terhadap kata dan perbuatan, hal ini disebabkan tidak memiliki integritas yang tinggi. Begitupun halnya jika profesionalisme yang dimiliki tidak sinkron dengan beban kerja yang dihadapinya, sehingga bisa jadi seorang aparatur dengan kemampuan non teknis mengerjakan pekerjaan teknis.. Padahal untuk mencapai budaya kerja yang baik hendaknya aparatur memiliki keinginan untuk konsisten dalam kata dan perbuatan serta ahli dalam bidangnya.
5.    Aparatur harus kreativitas, mempunyai kepekaan serta keteladanan
Kreativitas dan kepekaan akan melahirkan aparatur yang mampu kerja dinamis serta mendorong kearah efesien dan efetifitas. Sebagai contoh aparatur harus mampu mengejewantahkan pentingnya standar pelayanan publik, dengan demikian aparatur akan mampu melakukan pelayanan publik sesuai dengan SOP (Standar Operasional Prosedur)   yang ditetapkan. Aparatur akan mampu melakukan pekerjaan dengan waktu yang tepat, biaya pelayanan sesuai dengan peraturan yang dibuat, produk pelayanan yang dikerjakan akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, kompetensi petugas pemberian layanan harus tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap dan perilaku yang dibutuhkan. Seluruh point diatas tentunya perlu pemimpin yang mampu memberikan bimbingan serta pengarahan sehingga aparatur mampu menjadi bawahan ataupun atasan yang dapat memberikan keteladanan, dengan demikian aparatur mampu mendayagunakan kemampuan potensi bawahan secara optimal.
6.    Ketepatan, kecepatan, rasionalitas, dan kecerdasan emosi
Aparatur harus mampu bekerja tepat dan cepat hal itu dimungkinkan dapat berpengaruh terhadap pelayanan kepada masyarakat, usaha tersebut didukung dengan cara terus menerus mengusahakan perubahan peran dengan cara optimalisasi standar pelayanan dengan prinsip cepat, tepat, memuaskan, transparan dan non diskriminatif dengan menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas, dan pertimbangan efesiensi. Sedangkan untuk mengantisipasi perubahan dinamika masyarakat yang secara variatif dan cepat maka aparatur harus mampu mengelola organisasinya agar lentur serta mudah disesuaikan searah dengan dinamika masyarakat yang dilayani. Selain teruji akuntabilitasnya, aparatur harus berfikir rasional dalam bertindak, terlebih mengelola emosi menjadi energi yang fositif dalam membangun budaya aparatur yang baik.
7.    Keteguhan, ketegasan dan keteraturan kerja
Kunci pokok ketiga aspek diatas adalah upaya bertindak disiplin dalam bertindak serta bekerja, tidak mudah terpengaruh oleh para pihak yang merugikan dirinya sendiri dan negara. Karena keteguhan dan ketegasan aparatur dalam menjalankan tugasnya sangat mempengaruhi kinerja organisasi yang ditempatinya. Dengan adanya keteguhan serta ketegasan dipastikan akan tercipta keteraturan kerja dan jika keteratur kerja sudah dapat dicapai maka jalan oraganisai akan sesuai dengan operasional prosedur yang telah dibuat dan disepakati.
8.    Dedikasi dan loyalitas
Seorang aparatur sudah disumpah untuk menjadi abdi negara yang siap menjadi insan yang patuh dan taat terhadap panji-panji yang diamanatkan dan undang-undang, Perpres, Peraturan daerah dan lain sebagainya, sehingga seorang aparatur harus punya dedikasi yang tinggi serta loyal terhadap negara dan bangsanya. Untuk membangun dedikasi serta loyalitas yang baik, seorang aparat wajib mempunyai semangat dan motivasi atau yang didorong oleh keinginan memperbaiki keadaan secara perorangan maupun organisasi , ketekunan dan kesabaran yaitu rasa yang didasarkan kepada tanggungjawab terhadap tugas yang diamanatkan, dan keadilan serta keterbukaan yaitu bertindak dan melayani masyarakat sesuai dengan keinginan masyarakat.
9.    Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
Aparatur harus mampu menyesuaikan kerjanya dengan perkembangan zaman yang semain maju, sehingga penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah sangat mendesak dilakukan. Karena penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir akan mencerminkan profesioanal atau tidaknya seorang aparatur. Penguasaan iptek ini harus melebihi penguasaan iptek yang dikuasai masyarakat sebagai objek yang dilayani.
    
Penutup

Aparatur adalah ujung tombak negara untuk pembangunan bangsa, sehingga keberadaannya  terus dibutuhkan jika aparatur selalu melindungi, mengayomi serta menjadi motor penggerak pembangunan negara. Ada beberapa kelemahan yang harus secepatnya dilakukan guna tercapainya reformasi birokrasi yang konprehensif. Karena selama ini aparatur umumnya belum mampu bekerja optimal, hal ini diakibatkan oleh berbagai kendala diantaranya penyalahgunaan wewenang serta tanggungjawab dan pengaburan masalah serta pengalihan beban. Adanya indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme. Adanya indikasi status quo, empire bulding (membina kerajaan), Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko yang diambil. Ketidak pedulian terhadap kritik dan saran dari rakyat. Takut mengambil keputusan, karena adanya indikasi kesalahan. Kurangnya kreativitas dan eksperimen dalam pembangunan. Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif, dan misi yang mantap. Minimnya pengetahuan dan keterampilan.
Beberapa hal yang menurut penulis harus dilakukan adalah pelaksanaan nilai-nilai dasar budaya kerja aparatur negara yang terdiri dari :
1.    Aparatur harus bersikap komitmen dan konsisten dalam bekerja
2.    Aparatur harus mempunyai wewenang dan tanggung jawab.
3.    Aparatur memiliki keikhlasan dan kejujuran dalam bekerja
4.    Aparatur mempunyai integritas dan profesionalisme yang mumpuni
5.    Aparatur harus kreativitas, mempunyai kepekaan serta keteladanan
6.    Ketepatan, kecepatan, rasionalitas, dan kecerdasan emosi
7.    Keteguhan, ketegasan dan keteraturan kerja
8.    Dedikasi dan loyalitas
9.    Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi

Pustaka
           
Espejo,et.al (1996), Organization Transpormational and Learning A Cybernetic Approach to Management, McGraw Hill, New York.
Muliawati Lilis, Dra,MM (2009), Sinopsis : Evaluasi Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan berbasis
           Kompetensi
Suwartopo,Ir,MM(2009).Pendayagunaan Aparatur Negara Menuju Good Governance, 
           Bandiklatda,Lampung.
Sopian RM, SH,MM (2011), Upaya Widyaiswara Melahirkan Tenaga Aparatur Handal,Bandiklatda, 
           Lampung
Sondang P Siagian (2000),Kajian Patologi Birokrasi Pemerintah, Jakarta
Vonita, (2010). Kecerdasan Moral, Aspek Pendidikan yang Hampir Terlupakan. Bandiklatda, Lampung