Perikanan/Pertanian/Perkebunan

Cari Blog Ini

Minggu, 06 November 2011

NILAI ISLAM DAN BENTUK KESALEHAN SOSIAL

Manasik  (Foto Ilustrasi)

Memberi apa yang kita punya  walau sedikit barangkali semua orang mampu walaupun agak terpaksa. Tetapi yang luar biasa adalah ketika kita memberi terhadap orang lain akan tetapi yang diberikan itu sangat berat untuk melepaskannya. Hal itu dapat kita pelajari dari perjalanan hidup Rasul Allah Ibrahim AS, cerita yang tidak hanya dijadikan cermin oleh umat manusia, juga menggambarkan betapa sebuah kisah yang menjadi  legenda yang tak lekang oleh zaman. Cerita  yang bukanlah dongeng biasa , dan selalu diperingati hingga kini dan sampai nanti akhir zaman. Umat Islam memperingati secara simbolik berupa penyembelihan hewan kurban, hal itu dalam rangka memperingati peristiwa keagungan akhlak seorang nabi yang dicontohkan  kepada umatnya. Bagaimana tidak,  sebagai orang tua begitu relanya beliau korbankan semata-mata karena  perintah Allah. Walaupun dalam hatinya berat, akan tetapi dengan keyakinannya Ibrahim dengan ikhlas  dan penyerahan total , Tauhid al Ibadah serta berikrar akan mengerjakan perintah Allah tersebut. Walaupun belakangan  Allah gantikan nyawa Ismail dengan Penyembelihan Agung, sebagai pengakuan atas kepatuhan Ibrahim kepada Allah.
Peringatan peristiwa itu merupakan kegiatan sakral yang menyatukan kalbu manusia dengan  Allah yang diritualkan oleh penyembelihan hewan Qurban. Pengorbanan yang tidak sebanding dengan apa yang dilakukan oleh Nabi ibrahim AS dalam Qalbunya kala itu, tapi penyembelihan itu dapat dijadikan tolok ukur rasa pengejewantahan Qalbu kita terhadap rasa keinginan untuk mendekatkan  nurani kita terhadap sang Kholiq serta rasa berbagi antar sesama.  Sebab hakekatnya penyembelihan hewan qurban itu adalah sebagai perwujudan perintah Allah serta rasa keinginan kita untuk membangun kedekatan kita terhadap kaum muslim yang lain.
Semangat qurban merupakan inti ibadah sebagai perwujudan dari rukun Islam yang kelima, harus direfleksikan dalam bentuk kegiatan yang hakiki. Sebab hakekatnya kita sebagai manusia tak cukup  hanya mempunyai semangat ritual individual, tapi yang lebih perlu diupayakan adalah bagaimana kita dapat membangun paradigma baru dalam sendi-sendi keislaman serta mampu membangun struktur kesalehan  sosial yang kokoh.
Dalam sebuah tulisannya DR Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Jakarta) mengatakan bahwa dalam semangat dan semarak dakwah serta ritual keagamaan di Indonesia tak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru dipraktikan adalah yang dianut oleh negara-negara sekuler.   Selanjutnya Komaruddin, merujuk dari seorang peneliti  dari The George  Washington University yakni Scheherazade S Rehman yang dipublikasikan dalam Global Economy Journal ( Berkeley Electronic Press, 2010) menilai  bahwa dari 56 negara anggota OKI (Organisasi Kerjasama Islam) yang memperoleh nilai tertinggi adalah Malaysia (ke-38), Kuwait (ke-48), dan rata-rata negara OKI masuk di urutan 139 serta sisanya termasuk  Indonesia berada di urutan ke 140  dunia dari 208 negara yang paling Islami. Dapat  dibayangkan dari 140 negara itu yang paling Islami adalah negara Selandia Baru diikuti diurutan kedua adalah Luksemburg dan sebagaimana kita ketahui negara itu tidak dihuni oleh mayoritas penganut Islam. Dalam penelitiannya tersebut  Rehman mengukur dari aspek seberapa jauh  ajaran Islam itu membentuk kesalehan sosial berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Seandainya saja yang dijadikan indikator dalam penelitian itu adalah aspek ritual-individual saja, saya yakin Indonesia di urutan pertama. Bagaimana tidak, perkembangan masyarakat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji setiap tahun meningkat. Bahkan sampai berbentuk list daftar tunggu pemberangkatan, jika kita setor haji tahun 2011 ini berarti kita akan menunggu sampai 2017 atau bisa jadi  tahun 2020, baru dapat berangkat haji. Sesuatu yang musykil terjadi di negara-negara penganut Islam yang lainnya. Hal itu menandakan betapa antusias dan sangat besar keinginan umat Islam kita dalam menunaikan ibadah haji, selain itu setiap ramadhan bagaimana penuhnya masjid-masjid  di Indonesia terutama saat melaksanakan ibadah shalat Ied, umat Islam  tumpah ruah sampai ke jalan-jalan protokol. Setiap parpol, ormas, para pejabat ketika ada acara amal dan bakti sosial  terlebih saat kampanye terus bermunculan, bank-bank Islam bermunculan menerapkan ekonomi syari’ah.  Akan tetapi kita lupa bahwa perilaku sosial di Indonesia sangat jauh dari ajaran Islam dibuktikan dengan maraknya korupsi, sistem ekonomi dengan bunga tinggi, kekayaan tidak merata, persamaan hak  mendapatkan pelayanan bagi semua warga negara dan hak untuk memperoleh pendidikan yang layak sehingga mampu berkembang, serta banyak aset-aset sosial yang ada banyak mubazir. Ternyata benar apa yang diutarakan Lehman, bahwa apa yang dikecam ajaran Islam itu ternyata sangat mudah ditemukan di negara-negara muslim ketimbang negara-negara barat. Saya kurang paham betul apakah kesalahan ini terletak pada perilaku masyarakat atau pada sistem pemerintahannya. Yang jelas dari hasil temuan Lehman bahwa perilaku sosial, ekonomi, budaya dan politik di negara-negara mayoritas muslim justru berjarak lebih jauh dari ajaran Islam dibandingkan dengan negara non muslim. Saya berasumsi cepat atau lambat bila hal ini terus terjadi maka negara-negara non muslim berperilaku lebih Islami dibanding penganutnya.
Saya tertarik oleh tulisan Syafiq Basri Assegaf dalam tulisannya beliau mengisahkan ada dua malaikat bercakap-cakap di dekat ka’bah di Masjidil Haram :
-          Berapa jumlah orang yang naik haji tahun ini ?
-          Enam ratus ribu.
-          Berapa yang diterima hajinya ?
-          Hanya dua orang, salah satunya bahkan tidak menunaikan hajinya kesini.
Kisah yang bernuansa sufi itu dinisbatkan kepada ulama Abdullah bin Mubarak dalam mimpinya . Dalam mimpi itu malaikat berkata bahwa satu orang yang tidak pergi dan  diterima hajinya adalah Ali bin Al –Mufiq, orang  Damaskus.  Dan ternyata Al-Mufiq adalah seorang tukang semir sepatu yang menyerahkan 3000 dinar hasil tabungannya   untuk bekal haji kepada tetangga dan memberi makan anak-anak yang sudah tiga hari kelaparan.
                Dari kisah itu setidaknya kita dapat mengambil hikmah betapa besar pahala bagi orang-orang yang memberi santunan dengan hasil jerih payahnya sendiri tanpa mengharap imbalan. Selama ini kita terobsesi bahwa rukun Islam yang kelima harus diwujudkan dengan menunaikan ibadah haji secara nyata, sehingga mengecilkan orang yang berkeinginan untuk menunaikannya akan tetapi tidak mampu secara finansial.  Kisah ini memberikan keteladanan dalam perilaku kesalehan sosial  berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.  Nabi Muhammad sendiri mengajarkan menyantuni janda tua dan orang miskin pahalanya setara dengan orang yang terus menerus shalat malam dan terus menerus puasa. Demikian pula mencari ilmu satu hari lebih utama nilainya dibandingkan dengan puasa tiga bulan. Sebaliknya tidaklah beriman seseorang yang tidur kenyang sementara tetangganya  kelaparan. Menunaikan ibadah haji mempunyai pahala yang besar disisi Allah tapi akan lebih besar lagi  manakala sepulangnya dari haji menjadi haji yang mambrur tanpa mengulangi perbuatan yang tercela. Jangan sampai dari jamaah haji yang berjumlah 2 juta orang kita tidak termasuk kedalam dua orang yang diceritakan oleh Assegaf diatas.
                Satu contoh diatas menggambarkan betapa nilai-nilai keislaman belum begitu diaplikasikan oleh umat muslim secara sempurna, kita cenderung beribadah hanya sekedar ritual individual, yang berbentuk pelepasan dari rasa tanggungjawab terhadap Alloh dengan tidak diimbangi oleh sikap, perilaku, tutur kata serta keperdulian terhadap sesama manusia selepas melaksanakan ibadah itu sendiri. Tidak perlu jauh kita ambil contoh bagaimana kebiasaan kita mengantre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong serta nilai-nilai Islami lainnya yang justru sangat sulit kita jumpai akhir-akhir ini. Muhammad Abduh seorang ulama besar pernah berujar  saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang muslim banyak saya temukan di dunia Arab. Bisa jadi juga kita berujar senada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar