Perikanan/Pertanian/Perkebunan

Cari Blog Ini

Rabu, 02 November 2011

BALAP SEPEDA ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

Di Volodrom : Foto repro Fuji Film

Sebagai seorang yang menyukai serta mantan atlet spesialis road race balap sepeda saya tertegun membaca tulisan di media dengan judul “Kayuhan Nan Minim Taktik dan Strategi” (Kompas 21/10) . Saya tersenyum sumir, sebab pernyataan klasik selalu itu-itu saja yang diungkap, padahal sudah puluhan tahun federasi (baca : ISSI) didirikan. Tak sedikit yang berkomentar bahkan tak ketinggalan seorang pembalap dari Terangganu Cycling Team bernama Shinichi Fukushima (Jepang) berujar bahwa para pembalap Indonesia memiliki potensi bagus.

Kendala ini selalu muncul disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, para pembalap kita minim peralatan, terutama keberadaan sepeda yang dimiliki di tingkat amatir  tidak standar karena faktor biaya untuk membeli peralatan, padahal  hakekatnya atlet nasional lahir dari keberadaan atlet amatir. Saya perhatikan setiap atlet harus bergerak dari nol, sebab kebanyakan atlet balap sepeda tumbuh dari golongan menengah ke bawah, walaupun sejak dulu penggemar sepeda rata-rata orang menengah atas. Tapi yang menjadi atlet sungguhan tumbuh karena dorongan sesama pembalap yang sifatnya hanya semata simpatisan terhadap balap sepeda, diantaranya WNI keturunan Cina. Saya teringat kawan saya yang waktu itu jago tanjakan, ingin memiliki tuplit saja, ngutang sama ko’  yong seorang pengusaha  Indochina, saya belum melihat kepedulian PB ISSI di kota itu walaupun kami sudah berbentuk sebuah klub.

Masalah kedua adalah atlet kita minim mengikuti kompetisi, dan memang sampai sekarang hanya beberapa event besar diselenggarakan  di Indonesia diantaranya Tour d’ Indonesia, Tour d Java dan Tour d’ Singkarak yang masuk ke agenda federasi balap sepeda Internasional (UCI). Padahal sejatinya PB ISSI atau Pengda ISSI yang ada di daerah harus rutin mengadakan perlombaan, sejauh ini hanya beberapa daerah yang mengadakan event balap sepeda itupun belum rutin dilaksanakan secara intensif, sebut saja Tour d’ Pangandaran, Tour d’ Tangkuban Parahu, Tour d’ Jabar, Tour d’ Sidoarjo, Tour d’ Bali, semua itu hanya diikuti oleh beberapa Pengda dan Pengcab tertentu  dan tidak mengikutkan atlet-atlet junior yang berpotensi mengukir prestasi. Dan anehnya ketika ada kejuaran-kejuaraan nasional hanya itu-itu saja yang menjadi juara, sebagai contoh hanya beberapa nama legenda dalam dunia balap sepeda Indonesia diantaranya Yusuf Kibar, Puspita Mustika, Kalimanto,Nurhayati, dan setelah itu generasi penerusnya kurang berkibar di pentas balap sepeda Asia  Tenggara sekalipun, walaupun tidak dipungkiri ada nama-nama seperti Tonton Susanto, Bambang Supriadi yang mengukir prestasi walaupun tidak melegenda. Hal itu disebabkan kurang pembinaan terhadap atlet-atlet daerah yang berpotensi juara dan mengikutkannya pada kejuaraan yang bergengsi. Seingat saya belum ada pembalap indonesia yang mengikuti Tour d’ Alpen atau Tour d’ Franc, entah apa kendalanya yang jelas ajang itu dapat dijadikan pelajaran yang berharga bagi pembinaan balap sepeda di Indonesia. Walaupun di atas kertas kita tidak akan dapat menjuarai kejuaraan seakbar itu, kita finish di urutan 150 saja sudah beruntung, tapi apa salahnya bila diikuti sebagai pembelajaran. Kalau terkait dana, kenapa kita dapat mengirimkan pertandingan sepakbola ke luar negeri dengan jumlah orang yang banyak, sedangkan mengirimkan lima orang pembalap ditambah 1 orang pelatih dan official saja tidak mampu.

Masalah ketiga, pembalap Indonesia minim pelatih yang profesional yang mampu mendorong atlet agar tetap berprestasi dan dapat menyuntikkan berbagai strategi jitu dalam mengikuti perlombaan. Pembalap Indonesia selalu kelihatan jumawa terlebih bertanding di daerahnya sendiri, ketika start pertama selalu berupaya tetap ada di barisan terdepan sampai melepaskan diri dari rombongan besar tanpa mengukur kemampuan olah napas dan kayuhan, sehingga pada akhirnya stamina terkuras. Kita dapat berkaca pada perlombaan balap sepeda Tour d’ Indonesia beberapa waktu yang  lalu tepatnya tanggal 6 Oktober  2011 di etape V antara Semarang dan Tawamangu. Saat itu pembalap kita Maruli Pajar Mulia  dari Custom Cycling Club (CCC), melaju dan melepaskan diri di 10 km selepas start, sungguh mengejutkan Maruli berhasil  memimpin sampai 110 km hingga Karanganyar, tetapi ketika 30 km menjelang finish pembalap asal  Solo ini  drop serta tertinggal jauh dari pembalap yang punya strategi jitu , dan para pembalap yang tadinya berombongan berebut menyusul terutama pembalap spesialis tanjakan dan mereka berhasil tiba di garis terdepan  mendahului Maruli. Manager CCC, M Irham juga menyayangkan tindakan Maruli, dan dia tidak menginginkan tindakan serangan awal-awal kilometer (Kompas,21/10). Hal ini yang membuat kita semua  kecewa padahal kenapa tidak dari awal manager atau pelatihnya memperingatkan jangan sampai hal itu terjadi terhadap Maruli. Saya kurang tahu apakah pelatihnya tidak profesional atau pemainnya yang jumawa. Yang jelas kedua-duanya ada hubungan sebab akibat.

Yang ketiga atlet Indonesia terutama di tingkat junior dan amatir kurang bimbingan teknis yang memadai, mereka dibiarkan berlatih atas kemauannya sendiri dengan biaya sendiri tanpa didampingi seorang pelatih atau mentor yang selalu setia mendampinginya. Mereka cenderung berlatih tanpa perhitungan sehingga dapat menyebabkan kelelahan fisik dan pemborosan waktu yang tidak menghasilkan perbaikan pada kualitas dan mutu pembalap. Pembalap cenderung berlatih tidak teratur dan tanpa tujuan yang jelas terlebih membuat perencanaan, skala prioritas, pencapaian akhir dan evaluasi dalam berlatih. Hal ini yang menyebabkan pembalap kita buta terhadap strategi yang dimiliki. Salah satu jalan yang perlu di tempuh oleh federasi adalah menyediakan pelatih yang mumpuni bagi setiap daerah, terlebih atlet pelatnas.

Hal keempat adalah fasilitas arena balap, saya belum melihat veledroom yang dibangun di setiap daerah. Untuk memberikan keleluasaan kepada pembalap dalam berlatih. Selama ini hanya ada di veledrom Rawamangun yang fasilitasnya memadai, itupun disediakan untuk atlet-atlet pelatnas. Begitu pula untuk atlet Road race, kita belum menyediakan jalan khusus berlatih bagi para pembalap di setiap daerah. Selama ini para pembalap selalu berlatih di jalan raya yang keberadaannya sangat padat sehingga dapat mengancam keselamatan pembalap itu sendiri. Pembalap harus berebut jalan dengan pengguna jalan raya serta bergelut dengan polusi udara yang tidak menyehatkan.

Kelima, atlet Indonesia di tingkat amatir tidak pandai mengatur pola makan sehingga kekuatan fisik yang dimiliki kurang baik. Pada akhirnya pembalap Indonesia kekuatannya  cenderung  tidak merata, karena sebagian mereka mengandalkan kekuatan fisik alami serta tidak diimbangi oleh asupan gizi yang memadai. Seorang pembalap Internasional dan telah beberapa kali menjuarai Tour d’ Franc bernama Greg Lemond dengan pengaturan serta asupan gizi yang baik dibarengi dengan latihan yang sesuai porsi, walaupun dia mempunyai ginjal hanya sebelah saja akan tetapi dia mampu menjuarai berbagai  kejuaran sepeda tingkat dunia berulang-ulang. Saya teringat ketika suatu saat latihan, saya dan kawan-kawan satu  klub akan menjalani route jalan raya dengan jarak 120 km hanya  sarapan pagi makan comro,  padahal menurut ahli gizi  seorang olahragawan wajib mengkonsumsi  makanan yang kaya akan vitamin, karbohidrat dan makanan yang mengandung potasium ketika menjalani latihan sesuai kalori yang dibutuhkan oleh tubuh.

Terakhir yang penting dipikirkan federasi adalah  adanya kepedulian terhadap klub-klub balap sepeda yang ada di daerah. Selama ini klub-klub cenderung mati enggan hidup tak mau, saya melihat keberadaan klub tumbuh seperti  jamur, tumbuh ketika musim hujan tiba dan berhenti ketika musim kemarau. Menurut hemat saya penting dilakukan sejenis perlombaan klub-klub dari mulai kelas amatir, kelas kontinental sampai tingkat nasional dan internasional untuk menuju atlet profesional. Untuk itu perlu mendatangkan pembalap atau pelatih bayaran  dari manca negara sehingga dapat memacu gairah para pembalap dalam negeri untuk bersaing secara profesional. Atau jika perlu dibuat sejenis pertandingan ISL pada pertandingan sepakbola. Sehingga dapat terjalin kompetisi yang kontinyu serta dapat melahirkan bibit-bibit muda potensial.

Akan tetapi saya optimis dengan perkembangan akhir-akhir ini dimana khalayak bahkan para pejabat banyak yang mencanangkan bike to work  dan tumbuh klub-klub balap sepeda yang mumpuni, mudah-mudahan awal yang baik ini merupakan kebangkitan bagi dunia persepedaan terutama balap sepeda di Indonesia, serta dapat memancing gairah dan keinginan  generasi muda  untuk menjadi pebalap sepeda profesional. Saya sedikit lega ketika mengikuti perkembangan perhelatan Tour d’ Indonesia beberapa waktu yang lalu, dan pembalap Indonesia (Bambang Supriadi) dapat mengenakan kaus kuning  dan memakainya selama empat hari balapan. Ini adalah petanda yang baik, dan semoga harapan itu tidak cuma satu kali.  Akhirnya kepedulian federasi sangat dinanti, dan kita tunggu kiprah para praktisi balap sepeda dan pesepeda di Indonesia sehingga akan lahir pesepeda sekelas Contador.






1 komentar:

  1. gimana ya pak ?Di Indo balap sepeda ga digubrik alias dicuekin,pengen latihan bingung mulai dari mana ga kya sepak bola tempat les / latihannya banyak,lapangan banyak. Di Indo ?sya se-Bandungeun cumen ada 1 velodrom, miris saya

    BalasHapus