Perikanan/Pertanian/Perkebunan

Cari Blog Ini

Selasa, 27 September 2011

CENGENG


Sandal dijepit penuh makna  (Foto ilustrasi)

Saat menyaksikan acara Kick Andy di Metro TV tak terasa hati bercambur baur menjadi satu  lucu, geli, kagum sekaligus haru sehingga tanpa sadar air menitik dari celah mataku, saat menyaksikan adegan seorang pria tuna daksa mantan preman tapi penuh talenta. Ketika menyaksikan tayangan itu walaupun seorang diri saya bilang pada diri sendiri sungguh saya “cengeng” dan cepat mengeluh, maka secara spontan jeritan hati saya jadikan judul tulisan ini.
Hidup Penuh Dinamika
Sekilas saya teringat tayangan program tolong di RCTI, ceritanya  ada seorang anak yang minta tolong agar baju bekasnya dibeli dengan harga 25 ribu rupiah untuk membiayai sekolahnya sendiri. Sudah berulang-ulang anak itu menawarkan kepada setiap orang yang lalu lalang, dengan corak manusia yang beragam. Ada yang perlente, cantik, ganteng, gagah, dan lain-lain. Siapa yang menolong?...ternyata orang miskin yang tuna daksa dengan tanggungan yang banyak dan berpropesi sebagai pencari sampah. Anak saya yang kecilpun sampai berkaca-kaca menyaksikannya. Setelah saya perhatikan, dalam program acara reality show apapun, orang yang tinggi toleransinya rata-rata orang yang dibawah garis kemiskinan, mudah-mudahan tafsiran saya ini salah, karena saya hanya menilai dari program-program tayangan televisi. Sebab tak dapat dipungkiri tidak sedikit juga golongan menengah atas yang tinggi toleransinya. Mungkin saja para produser hanya ingin menaikan rating program yang dibuatnya untuk menarik pariwara, atau hanya sekedar mengeksploitasi kaum termarjinalkan. Sebab bukan rahasia umum lagi kemiskinan sekarang telah menjadi ladang bisnis yang mengiurkan untuk siapa saja baik untuk kalangan bisnis,sosial budayawan,pendidik, ekononom sampai politikus karena kemiskinan sudah menjadi ladang empuk untuk digarap. Dan tidak heran kalau kemiskinan itu dilestarikan.
Terlepas dari yang saya utarakan diatas, saya hanya menggaris bawahi bahwa sejatinya peristiwa yang kita saksikan menjadi cermin bagi kita, kalau menurut hemat kita hidup yang dihadapi adalah musibah, tekanan, cibiran, hinaan, perendahan diri dan ujian mustinya kita dapat melihat sesungguhnya dibalik kegundahan yang kita hadapi adalah hanya sebuah kerikil atau debu yang menghalagi jalan kita dan itu adalah bukan problematika, tetapi sebenarnya itu adalah dinamika kehidupan.

Hadapi Hidup tanpa Keluhan

Saya pernah berbincang dengan seorang tenaga sukarelawan di pemerintahan dia mengeluhkan uang yang diterima dan nasibnya yang sudah lima tahun tidak diangkat menjadi CPNS, dengan nada sumpah serapah menjustifikasi pemerintah yang tidak peduli dan perhatian terhadap orang tertindas, tanpa melihat bahwa jadi TKS sesungguhnya atas pilihannya sendiri, dia tidak sadar dari kata S itu tersembunyi kata Sukarela. Kalau begitu berarti selama ini bekerja dan mengabdi kepada negara hanya semata-mata imbalan, walaupun memang tidak dipungkiri kalau ekonomi morat-marit mana bisa kerja baik, tapi bukankah yang ingin di TKS-kan adalah dirinya sendiri, kalau begitu untuk apa bekerja kalau tidak sukarela, kata grup band Jamrud,  ya kelaut aja dech. Dia  lupa perkataan John F Kenedy , “ Ask not what your country can do for you, ask what you can do for county”. Dan masih banyak yang menjadi TKS lebih dari 5 tahun dan sabar menanti.
Di halte bus ketika saya menunggu Trans Musi  saya mendengar keluhan serupa, Dik , alangkah susahnya jadi Pegawai negeri, sudah banyak tunggakkan bank, koperasi, ditambah lagi beban lain yang menjadi tanggungan, sangat berat rasanya. Dia tidak sadar sesungguhnya ucapannya telah menjawab pertanyaan dirinya sendiri. Mau ngabdi apa mau kaya?.  Pandirpun punya statement, mana bisa kaya kalau cuma mengandalkan gaji saja. Hitung berapa perkiraan gaji yang didapat walaupun dikumpulkan selama 30 tahun. Sekarang yang salah siapa?, kalau jadi pegawai negeri miskin itu merupakan salahnya sendiri. Dan buat apa mengeluh, kalau kesatria mundur saja tanpa minta uang pesangon.
Lain cerita ketika saya mengantar keponakan untuk menghadiri rapat Komite Sekolah, saya duduk di ruangan guru. Ketika itu ada seorang guru kesulitan dalam mengajar, kelihatannya apa yang mau diajarkan saja bingung, bagaimana mau tidak bingung kalau RPP saja tidak dibuat, alasannya klasik nyambi dagang nambah penghasilan.  Padahal bisa saja guru menyambi jadi tukang ojek asal tugas pokoknya tidak terbengkalai. Bukannya hal sulit untuk membuat rencana mengajar dan membaca tengah malam demi kemajuan pendidikan asal cerdas mengatur waktu. Nah...seandainya guru sudah mengeluh dan mencari sambilan serta  lupa akan RPP-nya dan bingung apa yang akan disampaikan, kalau sudah begitu bagaimana nasib generasi mendatang dan  dimana letak tanggungjawab sebagai seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Jika sudah  bosan jadi guru lebih baik mundur saja, daripada membebani anggaran negara.
Saat saya bertemu mahasiswa tingkat akhir mengeluhkan sulitnya membuat laporan akhir dan  sulitnya menemui dosen untuk bimbingan. Padahal sesungguhnya yang membuat semua itu sulit adalah dirinya sendiri. Bagaimana mau susah kalau kuliah saja tak rajin, menemui dosen saja males-malesan, suruh baca litelatur malah ngedengkur. Kalau memang mau tamat ya usaha,. Kalau tidak droup out saja,. Gitu aja repot.
Dalam perjalanan kehidupan bernegarapun, banyak pemimpin yang menyalahkan anak buahnya,kepada sistem, kepada dana, kepada sokongan orang lain dan selalu menyalahkan orang lain. Padahal sejatinya seorang pemimpin harus siap dikritik, dicaci, dimaki, direndahkan, dan tidak terlalu senang akan pujian. Kalau semua itu tidak siap jangan salahkan orang lain, tapi salahkan diri sendiri dan tanggalkanlah demi kemaslahatan orang banyak.

Orang Besar tak pernah Cengeng

Ketika Raja Agung Iskandar Zulkarnaen akan menyerang Persia, di tengah perjalanan para prajuritnya sudah kelelahan, tetapi ketika sang Raja memberikan suntikan dengan perkataan “jangan cengeng” maka seluruh prajurit berhasil menaklukkan kerajaan sampai ke daratan India. Dari pelajaran itu kita dapat referensi yang berguna, yaitu sebagai manusia tidak hanya hidup dengan lenggangan kebahagiaan an sich. Akan tetapi sebagai kholifah manusia harus berjalan optimis ketika dihadapkan pada jurang-jurang kehkawatiran, was-was, ragu-rugu, pecundang dan hidup patah arang. Mulailah dengan kata-kata “hadapi”, dan kita enyahkan rasa “cengeng”, yang terpendam dalam pinggiran hati.(DR, September 2011)


Tidak Cengeng walaupu berbekal kerupuk







Tidak ada komentar:

Posting Komentar