Perikanan/Pertanian/Perkebunan

Cari Blog Ini

Selasa, 13 Desember 2011

TEKNOLOGI KAWAN ATAU LAWAN


Berkomunikasi Maya

       Saya sempat tertegun mendengar berita “sejumlah orang terinjak-injak”  ketika mengantre Blackberry yang dijual separuh harga di Pasific Place, Jakarta. Antara percaya dan tidak, bagaimana mungkin hanya untuk mendapatkan selular dengan harga yang bedanya 2,3 juta saja orang rela berdesak-desakan, berhimpitan dan bertaruh nyawa serta menunggu dari dini hari, padahal saya yakin yang membeli Blackberry Bold 9790  itu sudah dipastikan dari golongan menengah keatas, keyakinan saya itu diperkuat oleh persyaratan dalam pembelian selular tersebut  yaitu disyaratkan memakai kartu kredit sesuai identitas pengantre. Itupun menurut penuturan teman saya saat ngantre banyak berkeliaran joki yang dibayar sampai satu juta. Sudah pasti yang mengantri bukan orang sembarangan secara identitas. Tapi kalau yang cerdas saja sudah tidak dapat berpikiran realistis bagaimana orang kebanyakan. Sudah jelas iklannya untuk 1000 orang pertama, nah kalau orang ke-1001, yang satunya  pasti gigit jari dan membuka peluang KKN. Menggaris bawahi cerita saya diatas jelas bahwa bangsa kita sudah Hiperkonsumerisme, hiperteks dan hypermedia dan buakan lagi berburu teknologi, tapi berburu diskon dan berburu citra.
Kebanggaan berkomunikasi Maya
      Dari peristiwa Pasific Place kita dapat menilai, bahwa antusias bangsa kita terhadap gadget sangat tinggi dan bukan hanya sebatas selular pintar akan tetapi perangkat teknologi  lain saat ini sangat digandrungi. Bahkan untuk internet saja bangsa kita merupakan pengguna facebook terbesar kedua di dunia dan terbesar ketiga untuk pengguna twitter. Ada rasa kebanggaan dalam diri saya atas fenomena ini, akan tetapi saya juga merasa prihatin atas kemajuan teknologi itu dalam aplikasinya, sebab kemajuan teknologi dan penggunaannya saat ini sudah sampai pada batasan in conditional paradocsal (paradoks). Sebab teknologi komunikasi saat ini sudah pada batas memisahkan, bukan menghubungkan. Walaupun orang berasumsi bahwa teknologi adalah menghubungkan, hal itu dapat dibenarkan karena memang alat komunikasi adalah menghubungkan seseorang dengan mereka yang jaraknya jauh dari lingkungan fisik-sosial. Akan tetapi sebaliknya, pada saat bersamaan orang itu terusir dari ruang sosial dimana secara fisik  hadir. Hal ini berakibat sosial kemasyarakatan terabaikan, interaksi sosial tercerabut sehingga yang dekat sangat jauh dan yang jauh terasa dekat.
      Kalau kita berfikir kemasa lalu sebelum teknologi informasi berkembang pesat. Kita akan merasa mempunyai berjuta makna jika kita bersilaturahim dengan kawan, saudara, atau orang tua, karena sebelumnya tidak ada kabar yang dapat kita sampaikan secara cepat. Akan tetapi zaman sekarang jika mau ke rumah orang tua, saudara atau lainnya, pasti orang yang kita kunjungi itu sudah tahu keadaan kita saat ini dan sampai ke urusan  oleh-oleh yang kita bawa  saja sudah diketahui sejak saat oleh-=oleh itu dibuat serta di packing di tempat kita, maka ketika bersua sudah tidak greget lagi dari makna pertemuan itu dan hampir  kehilangan makna. Kaitannya karena  zaman sekarang kita tidak usah repot-repot lagi untuk mengucapkan hari raya, ulang tahun dan-lain-lain, cukup SMS atau pijit tuts  saja, maka dalam sedetik pesan kita sudah dapat diterima.
Sehingga bukan hal aneh lagi dunia informasi secanggih apapun sekarang, karena keberadaannya telah menjadi kebutuha sehari-hari dan dapat digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat.  Kita akan merasa ada yang kurang,  jika satu hari saja tidak mencoba mengubah status di akun jejaring sosial, hal itu sudah merupakan satu kebutuhan, bahkan merupakan kebanggaan tersendiri, kalau perlu habis buang anginpun diberitahukan keseluruh dunia.  Atau, bahkan tiap detik memelototi blackberry agar selalu update. Padahal kebanggaan itu adalah kebanggan yang semu, dan internet sudah merubah cara pikir kita, cara membaca dan cara mengingat. Dan perlu kita ketahui bahwa cara membaca, mengingat dan berpikir secara roll screen akan mengakibatkan kita membaca secara bersamaan sehingga penyerapan kita terhadap apa yang kita  baca melemah. Hal itu tidak mengakibatkan orang lantas melupakan diri terhadap kebanggaannya dengan dunia maya.  Malah kebanggaan itu sudah melebihi  kadar yang kita bayangkan,  sebab media sudah menjadi alat acuan bagi kehidupan sehari-hari. Tengok saja pidato di televisi, gaya rambut, model baju batik, cara berbicara dan gaya hidup lebih penting daripada upaya sistemik menyelesaikan pekerjaaan. Sehingga akibat rasa kebanggaan tersebut orang cenderung tidak mampu berpikiran koheren.
Antisipasi Dampak Dunia Maya
       Beberapa waktu lalu saya membaca berita, “Gadis diculik teman kencan di Facebook” (Sriwijaya Post, 20/11/2011), dan berita serupa selalu dimuat di media massa. Kegundahan kita diperparah dengan merebaknya tayangan di televisi  yang menjauhkan kita dari unsur  kognitif. Berapa jam bangsa kita dan anak-anak  kita memelototi  tayangan televisi yang acaranya tidak selaras dengan pembangunan karakter bangsa. Hal ini perlu kewaspadaan kita dalam bermain teknologi informasi, anak atau bahkan para orang tua tak jarang lepas kontrol dalam memilih dan memilah informasi dari media massa. Media massa cenderung menjadi juragan dan idola bagi kita. Padahal sejatinya kita harus dapat memperbudak media massa dengan cara pandai memilah dan memilih informasi yang layak di adopsi.
Tak dipungkiri dalam dunia maya kita dapat mengambil informasi yang mengalir tanpa henti, akan tetapi makna kognitif yang kita dapat akan meluber, karena informasi yang didapat tidak sesuai dengan kemampuan memori otak kita untuk menampungnya dan akhirnya kita dicetak menjadi manusia pengingat secara temporer. Hal ini akan membangun sikap kita menjadi sikap temporer yang hanya mampu mengendalikan memori otaknya dengan mengingat informasi sesaat. Hal ini yang dijadikan ladang media saat ini, dan akhirnya bangsa kita dibanjiri intrik-intrik gossip politik, sosial, ekonomi, budaya, hankam dan lain-lain dalam sajian informasi setiap saat.
Menghadapi derasnya media informasi yang tidak dapat dibatasi  oleh ruang dan waktu tersebut perlu langkah-langkah konfrehensif dalam mengantisipasinya. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah peran orang tua dalam membimbing anaknya sejak dini. Artinya kenali anak dengan sifat dan cara-caranya dalam menyikapi dan menghadapi dunia informasi, ketika anak berinteraksi di dunia maya dengan teman sepermainannya kenali temannya tersebut beserta latar belakangnya dengan cara melibatkan diri dalam akunnya, hal itu dimaksudkan agar anak terhindar dari pergaulan yang dapat menyesatkan. Ketika anak terobsesi dengan dunia informasi yang mengajarkan berpikir secara scrolling maka alihkan perhatiannya dengan cara mengajarinya dengan membaca teks secara linear, artinya anak dididik untuk dapat membaca secara linear (buku, majalah, Koran), karena sifat membaca ini akan menumbuhkan kebiasaan untuk tidak berpikir berlapis-lapis (hiperteks), dan hal ini dapat mengakibatkan kelemahan dalam menyerap informasi yang absolut.
       Kalau ada pekerjaan rumah yang perlu dilakukan dan jawabannya tidak membutuhkan banyak litelatur, ada baiknya ajarilah anak kita untuk tetap mandiri, jangan sampai menganjurkannya agar mencari jawaban di internet, karena biasanya jika hal itu kita sarankan maka akan menimbulkan sifat tergopoh dan ceroboh. Serta hasilnya anak kita akan terdidik menjadi generasi copy paste dan pekerjaannya tidak sesuai dengan apa yang kita dan pedidik harapkan, dan akan terkesan ceroboh dalam berbuat. Karena biasanya ciri-ciri masyarakat yang sudah melek teknologi adalah ketergesa-gesaan dan ketergopoh-gopohan dalam bertindak.  Hal terpenting dalam mengantisipasi derasnya informasi teknologi dari berbagai macam penjuru ini adalah membentengi anak dan diri kita dengan kendali iman serta pendidikan Agama (rohani) yang secara rutin dilakukan. Jika perlu ikut sertakan anak-anak kita dalam kegiatan rohani (pengajian,syalat berjamaah, baksos dan lain-lain)  yang kita ikuti atau kita adakan sebab hal itu akan menanamkan perisai yang ampuh bagi generasi kita dalam mengarungi penjajahan media teknologi dan informasi saat ini.

Rujukan :
D Rusnandar (2003),  Peranan Media Cetak dalam menyebarluaskan Informasi yang Islami,Makalah Diskusi, tidak dpublikasikan.
Harian Kompas (2011), Opini, Hiperkonsumerisme, Hypermedia, 13/11/2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar