Sandal dijepit penuh makna (Foto ilustrasi) |
Saat menyaksikan acara Kick Andy di Metro TV tak terasa hati bercambur baur menjadi satu lucu, geli, kagum sekaligus haru sehingga tanpa sadar air menitik dari celah mataku, saat menyaksikan adegan seorang pria tuna daksa mantan preman tapi penuh talenta. Ketika menyaksikan tayangan itu walaupun seorang diri saya bilang pada diri sendiri sungguh saya “cengeng” dan cepat mengeluh, maka secara spontan jeritan hati saya jadikan judul tulisan ini.
Hidup Penuh Dinamika
Sekilas saya teringat tayangan program tolong di RCTI, ceritanya ada seorang anak yang minta tolong agar baju
bekasnya dibeli dengan harga 25 ribu rupiah untuk membiayai sekolahnya sendiri.
Sudah berulang-ulang anak itu menawarkan kepada setiap orang yang lalu lalang,
dengan corak manusia yang beragam. Ada yang perlente, cantik, ganteng, gagah,
dan lain-lain. Siapa yang menolong?...ternyata orang miskin yang tuna daksa
dengan tanggungan yang banyak dan berpropesi sebagai pencari sampah. Anak saya
yang kecilpun sampai berkaca-kaca menyaksikannya. Setelah saya perhatikan,
dalam program acara reality show apapun, orang yang tinggi toleransinya
rata-rata orang yang dibawah garis kemiskinan, mudah-mudahan tafsiran saya ini
salah, karena saya hanya menilai dari program-program tayangan televisi. Sebab tak
dapat dipungkiri tidak sedikit juga golongan menengah atas yang tinggi
toleransinya. Mungkin saja para produser hanya ingin menaikan rating program
yang dibuatnya untuk menarik pariwara, atau hanya sekedar mengeksploitasi kaum
termarjinalkan. Sebab bukan rahasia umum lagi kemiskinan sekarang telah menjadi
ladang bisnis yang mengiurkan untuk siapa saja baik untuk kalangan bisnis,sosial
budayawan,pendidik, ekononom sampai politikus karena kemiskinan sudah menjadi
ladang empuk untuk digarap. Dan tidak heran kalau kemiskinan itu dilestarikan.
Terlepas dari yang saya utarakan diatas, saya hanya menggaris bawahi bahwa
sejatinya peristiwa yang kita saksikan menjadi cermin bagi kita, kalau menurut
hemat kita hidup yang dihadapi adalah musibah, tekanan, cibiran, hinaan, perendahan
diri dan ujian mustinya kita dapat melihat sesungguhnya dibalik kegundahan yang
kita hadapi adalah hanya sebuah kerikil atau debu yang menghalagi jalan kita
dan itu adalah bukan problematika, tetapi sebenarnya itu adalah dinamika kehidupan.
Hadapi Hidup tanpa Keluhan
Saya pernah berbincang dengan seorang tenaga sukarelawan di pemerintahan
dia mengeluhkan uang yang diterima dan nasibnya yang sudah lima tahun tidak
diangkat menjadi CPNS, dengan nada sumpah serapah menjustifikasi pemerintah yang
tidak peduli dan perhatian terhadap orang tertindas, tanpa melihat bahwa jadi
TKS sesungguhnya atas pilihannya sendiri, dia tidak sadar dari kata S itu
tersembunyi kata Sukarela. Kalau begitu berarti selama ini bekerja dan mengabdi
kepada negara hanya semata-mata imbalan, walaupun memang tidak dipungkiri kalau
ekonomi morat-marit mana bisa kerja baik, tapi bukankah yang ingin di TKS-kan
adalah dirinya sendiri, kalau begitu untuk apa bekerja kalau tidak sukarela,
kata grup band Jamrud, ya kelaut aja
dech. Dia lupa perkataan John F Kenedy ,
“ Ask not what your country can do for you, ask what you can do for county”.
Dan masih banyak yang menjadi TKS lebih dari 5 tahun dan sabar menanti.
Di halte bus ketika saya menunggu Trans Musi saya mendengar keluhan serupa, Dik , alangkah
susahnya jadi Pegawai negeri, sudah banyak tunggakkan bank, koperasi, ditambah lagi beban
lain yang menjadi tanggungan, sangat berat rasanya. Dia tidak sadar
sesungguhnya ucapannya telah menjawab pertanyaan dirinya sendiri. Mau ngabdi
apa mau kaya?. Pandirpun punya statement,
mana bisa kaya kalau cuma mengandalkan gaji saja. Hitung berapa perkiraan gaji
yang didapat walaupun dikumpulkan selama 30 tahun. Sekarang yang salah siapa?, kalau
jadi pegawai negeri miskin itu merupakan salahnya sendiri. Dan buat apa
mengeluh, kalau kesatria mundur saja tanpa minta uang pesangon.
Lain cerita ketika saya mengantar keponakan untuk menghadiri rapat Komite Sekolah,
saya duduk di ruangan guru. Ketika itu ada seorang guru kesulitan dalam
mengajar, kelihatannya apa yang mau diajarkan saja bingung, bagaimana mau tidak
bingung kalau RPP saja tidak dibuat, alasannya klasik nyambi dagang nambah
penghasilan. Padahal bisa saja guru
menyambi jadi tukang ojek asal tugas pokoknya tidak terbengkalai. Bukannya hal
sulit untuk membuat rencana mengajar dan membaca tengah malam demi kemajuan
pendidikan asal cerdas mengatur waktu. Nah...seandainya guru sudah mengeluh dan
mencari sambilan serta lupa akan RPP-nya
dan bingung apa yang akan disampaikan, kalau sudah begitu bagaimana nasib
generasi mendatang dan dimana letak
tanggungjawab sebagai seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Jika sudah bosan jadi guru lebih baik mundur saja,
daripada membebani anggaran negara.
Saat saya bertemu mahasiswa tingkat akhir mengeluhkan sulitnya membuat
laporan akhir dan sulitnya menemui dosen untuk bimbingan. Padahal
sesungguhnya yang membuat semua itu sulit adalah dirinya sendiri. Bagaimana mau
susah kalau kuliah saja tak rajin, menemui dosen saja males-malesan, suruh baca
litelatur malah ngedengkur. Kalau memang mau tamat ya usaha,. Kalau tidak droup
out saja,. Gitu aja repot.
Dalam perjalanan kehidupan bernegarapun, banyak pemimpin yang menyalahkan
anak buahnya,kepada sistem, kepada dana, kepada sokongan orang lain dan selalu
menyalahkan orang lain. Padahal sejatinya seorang pemimpin harus siap dikritik,
dicaci, dimaki, direndahkan, dan tidak terlalu senang akan pujian. Kalau semua
itu tidak siap jangan salahkan orang lain, tapi salahkan diri sendiri dan
tanggalkanlah demi kemaslahatan orang banyak.
Orang Besar tak pernah Cengeng
Ketika
Raja Agung Iskandar Zulkarnaen akan menyerang Persia, di tengah perjalanan para
prajuritnya sudah kelelahan, tetapi ketika sang Raja memberikan suntikan dengan
perkataan “jangan cengeng” maka seluruh prajurit berhasil menaklukkan kerajaan
sampai ke daratan India. Dari pelajaran itu kita dapat referensi yang berguna,
yaitu sebagai manusia tidak hanya hidup dengan lenggangan kebahagiaan an sich.
Akan tetapi sebagai kholifah manusia harus berjalan optimis ketika dihadapkan
pada jurang-jurang kehkawatiran, was-was, ragu-rugu, pecundang dan hidup patah
arang. Mulailah dengan kata-kata “hadapi”, dan kita enyahkan rasa “cengeng”,
yang terpendam dalam pinggiran hati.(DR, September 2011)
Tidak Cengeng walaupu berbekal kerupuk |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar