Berkomunikasi Maya |
Saya sempat tertegun mendengar
berita “sejumlah orang terinjak-injak” ketika mengantre Blackberry yang dijual
separuh harga di Pasific Place,
Jakarta. Antara percaya dan
tidak, bagaimana mungkin hanya untuk mendapatkan selular dengan harga yang
bedanya 2,3 juta saja orang rela berdesak-desakan, berhimpitan dan bertaruh
nyawa serta menunggu dari dini hari, padahal saya yakin yang membeli Blackberry
Bold 9790 itu sudah dipastikan dari
golongan menengah keatas, keyakinan saya itu diperkuat oleh persyaratan dalam
pembelian selular tersebut yaitu disyaratkan
memakai kartu kredit sesuai identitas pengantre. Itupun menurut penuturan teman
saya saat ngantre banyak berkeliaran joki yang dibayar sampai satu juta. Sudah
pasti yang mengantri bukan orang sembarangan secara identitas. Tapi kalau yang
cerdas saja sudah tidak dapat berpikiran realistis bagaimana orang kebanyakan.
Sudah jelas iklannya untuk 1000 orang pertama, nah kalau orang ke-1001, yang
satunya pasti gigit jari dan membuka
peluang KKN. Menggaris bawahi cerita saya diatas jelas bahwa bangsa kita sudah
Hiperkonsumerisme, hiperteks dan hypermedia dan buakan lagi berburu teknologi,
tapi berburu diskon dan berburu citra.
Kebanggaan berkomunikasi Maya
Dari peristiwa Pasific Place kita dapat menilai, bahwa
antusias bangsa kita terhadap gadget
sangat tinggi dan bukan hanya sebatas selular pintar akan tetapi perangkat
teknologi lain saat ini sangat
digandrungi. Bahkan untuk internet saja bangsa kita merupakan pengguna facebook
terbesar kedua di dunia dan terbesar ketiga untuk pengguna twitter. Ada rasa kebanggaan dalam
diri saya atas fenomena ini, akan tetapi saya juga merasa prihatin atas
kemajuan teknologi itu dalam aplikasinya, sebab kemajuan teknologi dan
penggunaannya saat ini sudah sampai pada batasan in conditional paradocsal (paradoks). Sebab teknologi komunikasi
saat ini sudah pada batas memisahkan, bukan menghubungkan. Walaupun orang
berasumsi bahwa teknologi adalah menghubungkan, hal itu dapat dibenarkan karena
memang alat komunikasi adalah menghubungkan seseorang dengan mereka yang
jaraknya jauh dari lingkungan fisik-sosial. Akan tetapi sebaliknya, pada saat
bersamaan orang itu terusir dari ruang sosial dimana secara fisik hadir. Hal ini berakibat sosial kemasyarakatan
terabaikan, interaksi sosial tercerabut sehingga yang dekat sangat jauh dan
yang jauh terasa dekat.
Kalau kita berfikir kemasa lalu
sebelum teknologi informasi berkembang pesat. Kita akan merasa mempunyai
berjuta makna jika kita bersilaturahim dengan kawan, saudara, atau orang tua,
karena sebelumnya tidak ada kabar yang dapat kita sampaikan secara cepat. Akan
tetapi zaman sekarang jika mau ke rumah orang tua, saudara atau lainnya, pasti
orang yang kita kunjungi itu sudah tahu keadaan kita saat ini dan sampai ke
urusan oleh-oleh yang kita bawa saja sudah diketahui sejak saat oleh-=oleh itu
dibuat serta di packing di tempat
kita, maka ketika bersua sudah tidak greget lagi dari makna pertemuan itu dan
hampir kehilangan makna. Kaitannya karena
zaman sekarang kita tidak usah
repot-repot lagi untuk mengucapkan hari raya, ulang tahun dan-lain-lain, cukup
SMS atau pijit tuts saja, maka dalam sedetik pesan kita sudah
dapat diterima.
Sehingga bukan hal aneh lagi
dunia informasi secanggih apapun sekarang, karena keberadaannya telah menjadi
kebutuha sehari-hari dan dapat digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Kita akan merasa ada yang kurang, jika satu hari saja tidak mencoba mengubah
status di akun jejaring sosial, hal itu sudah merupakan satu kebutuhan, bahkan
merupakan kebanggaan tersendiri, kalau perlu habis buang anginpun diberitahukan
keseluruh dunia. Atau, bahkan tiap detik
memelototi blackberry agar selalu update.
Padahal kebanggaan itu adalah kebanggan yang semu, dan internet sudah merubah
cara pikir kita, cara membaca dan cara mengingat. Dan perlu kita ketahui bahwa
cara membaca, mengingat dan berpikir secara roll
screen akan mengakibatkan kita membaca secara bersamaan sehingga penyerapan
kita terhadap apa yang kita baca
melemah. Hal itu tidak mengakibatkan orang lantas melupakan diri terhadap
kebanggaannya dengan dunia maya. Malah
kebanggaan itu sudah melebihi kadar yang
kita bayangkan, sebab media sudah
menjadi alat acuan bagi kehidupan sehari-hari. Tengok saja pidato di televisi, gaya rambut, model baju batik, cara berbicara dan gaya hidup lebih penting
daripada upaya sistemik menyelesaikan pekerjaaan. Sehingga akibat rasa
kebanggaan tersebut orang cenderung tidak mampu berpikiran koheren.
Antisipasi Dampak Dunia Maya
Beberapa waktu lalu saya membaca
berita, “Gadis diculik teman kencan di Facebook” (Sriwijaya Post, 20/11/2011),
dan berita serupa selalu dimuat di media massa.
Kegundahan kita diperparah dengan merebaknya tayangan di televisi yang menjauhkan kita dari unsur kognitif. Berapa jam bangsa kita dan anak-anak kita memelototi tayangan televisi yang acaranya tidak selaras
dengan pembangunan karakter bangsa. Hal ini perlu kewaspadaan kita dalam
bermain teknologi informasi, anak atau bahkan para orang tua tak jarang lepas kontrol
dalam memilih dan memilah informasi dari media massa. Media massa cenderung menjadi juragan dan idola
bagi kita. Padahal sejatinya kita harus dapat memperbudak media massa dengan cara pandai
memilah dan memilih informasi yang layak di adopsi.
Tak dipungkiri dalam dunia maya
kita dapat mengambil informasi yang mengalir tanpa henti, akan tetapi makna kognitif yang kita dapat akan meluber,
karena informasi yang didapat tidak sesuai dengan kemampuan memori otak kita
untuk menampungnya dan akhirnya kita dicetak menjadi manusia pengingat secara
temporer. Hal ini akan membangun sikap kita menjadi sikap temporer yang hanya
mampu mengendalikan memori otaknya dengan mengingat informasi sesaat. Hal ini
yang dijadikan ladang media saat ini, dan akhirnya bangsa kita dibanjiri
intrik-intrik gossip politik, sosial, ekonomi, budaya, hankam dan lain-lain
dalam sajian informasi setiap saat.
Menghadapi derasnya media
informasi yang tidak dapat dibatasi oleh
ruang dan waktu tersebut perlu langkah-langkah konfrehensif dalam
mengantisipasinya. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah peran orang tua
dalam membimbing anaknya sejak dini. Artinya kenali anak dengan sifat dan
cara-caranya dalam menyikapi dan menghadapi dunia informasi, ketika anak
berinteraksi di dunia maya dengan teman sepermainannya kenali temannya tersebut
beserta latar belakangnya dengan cara melibatkan diri dalam akunnya, hal itu
dimaksudkan agar anak terhindar dari pergaulan yang dapat menyesatkan. Ketika
anak terobsesi dengan dunia informasi yang mengajarkan berpikir secara scrolling maka alihkan perhatiannya
dengan cara mengajarinya dengan membaca teks secara linear, artinya anak
dididik untuk dapat membaca secara linear (buku, majalah, Koran), karena sifat
membaca ini akan menumbuhkan kebiasaan untuk tidak berpikir berlapis-lapis
(hiperteks), dan hal ini dapat mengakibatkan kelemahan dalam menyerap informasi
yang absolut.
Kalau ada pekerjaan rumah yang
perlu dilakukan dan jawabannya tidak membutuhkan banyak litelatur, ada baiknya
ajarilah anak kita untuk tetap mandiri, jangan sampai menganjurkannya agar
mencari jawaban di internet, karena biasanya jika hal itu kita sarankan maka akan
menimbulkan sifat tergopoh dan ceroboh. Serta hasilnya anak kita akan terdidik
menjadi generasi copy paste dan pekerjaannya tidak sesuai dengan apa yang kita
dan pedidik harapkan, dan akan terkesan ceroboh dalam berbuat. Karena biasanya ciri-ciri
masyarakat yang sudah melek teknologi adalah ketergesa-gesaan dan
ketergopoh-gopohan dalam bertindak. Hal
terpenting dalam mengantisipasi derasnya informasi teknologi dari berbagai
macam penjuru ini adalah membentengi anak dan diri kita dengan kendali iman
serta pendidikan Agama (rohani) yang secara rutin dilakukan. Jika perlu ikut
sertakan anak-anak kita dalam kegiatan rohani (pengajian,syalat berjamaah,
baksos dan lain-lain) yang kita ikuti
atau kita adakan sebab hal itu akan menanamkan perisai yang ampuh bagi generasi
kita dalam mengarungi penjajahan media teknologi dan informasi saat ini.
Rujukan :
D Rusnandar (2003), Peranan Media Cetak dalam menyebarluaskan Informasi yang Islami,Makalah Diskusi, tidak dpublikasikan.
Harian Kompas (2011), Opini, Hiperkonsumerisme, Hypermedia, 13/11/2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar