(Dari catatan seminar nasional “Pengembangan Sub Sektor Perkebunan Tanaman Karet”)
Peningkatan daya saing perkebunan karet di pasar dunia merupakan hal yang
harus terus diperjuangkan karena selama
ini karet Indonesia merupakan karet yang mempunyai kualitas yang kurang
membanggakan di pasar internasional, walaupun dari segi produksi negara kita
merupakan negara yang mempunyai produksi
karet serta luas areal tanaman karet cukup membanggakan, demikian dikatakan Dr. Ir. Dedy Saleh (Dirjen
Perdagangan luar negeri Kemendag RI) beberapa waktu yang lalu dalam seminar
nasional yang diadakan oleh IKAPERTA
Program Studi Agribisnis UNSRI bekerjasama dengan Managing Higrer Education
For Relevance and Efficiency (I-MHERE) di Aula Bina Praja Propinsi Sumatera
Selatan beberapa waktu yang lalu (31/10/11).
Dalam sebuah seminar yang bertajuk Pengembangan Sub Sektor Perkebunan
Tanaman Karet yang kompetitif dan berkesinambungan itu banyak hal yang perlu
dicermati atau paling tidak kita ketahui bersama, yaitu dari semua pembicaraan pemakalah kita dapat mengambil pelajaran bahwa
ternyata masih banyak pekerjaan rumah pemerintah dalam memelihara kesinambungan
perkebunan tanaman karet dan pemerintah dituntut mampu mengerakkan stakeholder yang bersentuhan langsung dengan perkaretan di
Indonesia agar karet Indonesia bukan saja unggul dalam kuantitas, tapi unggul juga dalam
kualitas.
Dirjen Perdagangan yang juga alumni FP-UNSRI itu berpendapat bahwa perlu
adanya antisipasi dalam menghadapi dampak krisis Eropa dan USA terhadap
industri dan perdagangan karet di Indonesia, kekhawatiran ini dibuktikan dengan
adanya proyeksi pertumbuhan ekonomi yang lamban di negara –negara Eropa
dan USA saat ini. Walaupun hal itu dapat diantisipasi dengan adanya negara Emerging Market. Terbukti selama Januari - Agustus 2011 pertumbuhan
nilai eksport ke beberapa negara emerging
market tumbuh pesat, diantaranya Afrika Selatan (93,3%), Iran (71,9 %),
Rusia (61,1 %), dan Mesir (53,6%).
Walaupun
kenyataannya kinerja eksport Indonesia secara kumulatif selama Januari-Agustus 2011 mencapai US$ 134,8 miliar, meningkat 36,6%
dibanding periode yang sama tahun lalu. Peningkatan eksport tersebut didorong
oleh naiknya eksport non migas sebesar 31,4 % menjadi US$ 107,4 miliar.
Eksport 10 produk utama mengalami peningkatan
kecuali kakao, hal ini diakibatkan oleh eksport biji kakao menurun yaitu sebesar 46,7
%, sedangkan eksport kakao olahan mengalami peningkatan sebesar 93,8 %, hal itu
sangat menggembirakan karena salah satu program pemerintah dalam mendorong industri hilir terwujud.
Kenaikan eksport 10 komoditi utama itu selain tekstil , yang mempunyai volume
yang sangat besar serta diikuti oleh ekport
sawit, elektronik, dan karet diurutan keempat, serta diikuti oleh
industri manufaktur yang lain, diantaranya produk hasil hutan, alas kaki,
otomotif, kakao, udang dan kopi. Dengan
demikian untuk meningkatkan nilai tambah maka produksi karet harus bercermin pada
keberhasilan produk kakao dan sawit. Sebab dengan adanya diversifikasi hasil
kakao serta kebijakan eksport CPO,
berhasil meningkatkan nilai tambah serta mendorong penguatan eksport produk
jadi.
Karet di
Indonesia merupakan komoditas eksport andalan perkebunan kedua setelah CPO, dan
Indonesia merupakan negara penghasil dan pengekport karet alam urutan ke 2
setelah Thailand. Estimasi produksi karet di Indonesia pada tahun 2011 adalah
2,64 juta ton dengan luas lahan 3,45 juta hektar (Ditjenbun 2011). Sedangkan
kontribusi eksport karet dan produk karet terhadap ekport non migas pada
periode Januari-Agustus 2011 sebesar 9,51 %, dengan demikian menurut Dedy karet
diharapkan menjadi penggerak roda pembangunan ekonomi melalui peningkatan mutu
yang akan meningkatkan eksport.
Sementara
itu Muhammad Supriadi ( dari pusat penelitian
karet Sumsel) mengungkapkan bahwa jumlah uang beredar di Sumatera Selatan tahun
2010 saja tercatat Rp. 22,5 – 30 triliun/tahun atau 75-100 milyar/hari dari
penjualan karet 750 ribu ton karet kering, hal ini perlu adanya penangganan
khusus bagi industri karet di Indonesia. Karena selama ini produksi karet terbesar
dihasilkan oleh perkebunan rakyat, dan produksi yang dihasilkan belum memuaskan,
disebabkan dari mulai tatacara penyadapan sampai penangganan produksi karet
mentah belum kompetitif di pasar dunia. Dalam rangka meningkatkan daya saing perkebunan karet
tersebut perlu dilakukan beberapa hal diantaranya penerapan teknologi menuju usaha perkebunan
yang berkelanjutan dengan upaya meningkatkan daya saing dan kesinambungan
perkebunan melalui peningkatan produktivitas kebun dan efesiensi usaha, serta
pencegahan kehilangan hasil, hal itu dapat diwujudkan melalui adopsi klon
unggul dan rekomendasi teknologi, perbaikan teknis budidaya dan sistem
manajemen, pengendalian penyakit dan gangguan hujan, percepatan program
peremajaan, pengembangan karet pada lahan non-tradisional dan pengembangan
diversifikasi produk dan industri hilir karet. Walaupun belum optimal hal itu
telah dilakukan oleh pemerintah diantaranya usaha-usaha peningkatan
produktivitas, penyediaan bibit unggul dan pengelolaan yang baik (Good
Agricultural Practices).
Dengan
demikian, untuk peningkatan daya saing perkebunan karet melalui penerapan
teknologi menuju usaha yang berkelanjutan menurut Prof.DR.Ir. Zulkifli Alamsyah,M.Sc
(FP. UNJA) perlu langkah-langkah yang ditempuh, diantaranya :
1. Membangun
kemitraan dalam pemasaran bokar harus didasarkan atas kebutuhan dan kesepakatan
antara petani dan industri crumb rubber.
2. Kemitraan
yang dibangun dari pihak petani akan lebih efektif bila melalui kelembagaan
petani (kelompok tani)
3. Kemitraan
yang dibangun sebaiknya memiliki legalitas dalam bentuk MoU antara kedua pihak
dan disaksikan oleh instansi terkait.
4. Harus
ada komitmen yang kuat oleh kedua belah pihak, terutama dari pihak petani
sehingga tidak tergoda oleh trik-trik persaingan bisnis yang tidak sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar