Di Volodrom : Foto repro Fuji Film |
Sebagai seorang yang menyukai serta mantan atlet spesialis road race balap sepeda saya tertegun
membaca tulisan di media dengan judul “Kayuhan Nan Minim Taktik dan Strategi”
(Kompas 21/10) . Saya tersenyum sumir, sebab pernyataan klasik selalu itu-itu
saja yang diungkap, padahal sudah puluhan tahun federasi (baca : ISSI)
didirikan. Tak sedikit yang berkomentar bahkan tak ketinggalan seorang pembalap
dari Terangganu Cycling Team bernama Shinichi Fukushima (Jepang) berujar bahwa
para pembalap Indonesia memiliki potensi bagus.
Kendala ini selalu muncul disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, para
pembalap kita minim peralatan, terutama keberadaan sepeda yang dimiliki di
tingkat amatir tidak standar karena
faktor biaya untuk membeli peralatan, padahal hakekatnya atlet nasional lahir dari
keberadaan atlet amatir. Saya perhatikan setiap atlet harus bergerak dari nol, sebab
kebanyakan atlet balap sepeda tumbuh dari golongan menengah ke bawah, walaupun
sejak dulu penggemar sepeda rata-rata orang menengah atas. Tapi yang menjadi
atlet sungguhan tumbuh karena dorongan sesama pembalap yang sifatnya hanya semata
simpatisan terhadap balap sepeda, diantaranya WNI keturunan Cina. Saya teringat
kawan saya yang waktu itu jago tanjakan, ingin memiliki tuplit saja, ngutang sama ko’
yong seorang pengusaha Indochina, saya belum melihat kepedulian PB
ISSI di kota itu walaupun kami sudah berbentuk sebuah klub.
Masalah kedua adalah atlet kita minim mengikuti kompetisi, dan memang sampai
sekarang hanya beberapa event besar diselenggarakan di Indonesia diantaranya Tour d’ Indonesia,
Tour d Java dan Tour d’ Singkarak yang masuk ke agenda federasi balap sepeda
Internasional (UCI). Padahal sejatinya PB ISSI atau Pengda ISSI yang ada di daerah
harus rutin mengadakan perlombaan, sejauh ini hanya beberapa daerah yang
mengadakan event balap sepeda itupun belum rutin dilaksanakan secara intensif,
sebut saja Tour d’ Pangandaran, Tour d’ Tangkuban Parahu, Tour d’ Jabar, Tour d’
Sidoarjo, Tour d’ Bali, semua itu hanya diikuti oleh beberapa Pengda dan
Pengcab tertentu dan tidak mengikutkan
atlet-atlet junior yang berpotensi mengukir prestasi. Dan anehnya ketika ada
kejuaran-kejuaraan nasional hanya itu-itu saja yang menjadi juara, sebagai
contoh hanya beberapa nama legenda dalam dunia balap sepeda Indonesia
diantaranya Yusuf Kibar, Puspita Mustika, Kalimanto,Nurhayati, dan setelah itu
generasi penerusnya kurang berkibar di pentas balap sepeda Asia Tenggara sekalipun, walaupun tidak dipungkiri
ada nama-nama seperti Tonton Susanto, Bambang Supriadi yang mengukir prestasi
walaupun tidak melegenda. Hal itu disebabkan kurang pembinaan terhadap
atlet-atlet daerah yang berpotensi juara dan mengikutkannya pada kejuaraan yang
bergengsi. Seingat saya belum ada pembalap indonesia yang mengikuti Tour d’ Alpen atau Tour d’ Franc, entah apa kendalanya yang jelas ajang itu dapat
dijadikan pelajaran yang berharga bagi pembinaan balap sepeda di Indonesia.
Walaupun di atas kertas kita tidak akan dapat menjuarai kejuaraan seakbar itu, kita
finish di urutan 150 saja sudah beruntung, tapi apa salahnya bila diikuti
sebagai pembelajaran. Kalau terkait dana, kenapa kita dapat mengirimkan
pertandingan sepakbola ke luar negeri dengan jumlah orang yang banyak,
sedangkan mengirimkan lima orang pembalap ditambah 1 orang pelatih dan official
saja tidak mampu.
Masalah ketiga, pembalap Indonesia minim pelatih yang profesional yang
mampu mendorong atlet agar tetap berprestasi dan dapat menyuntikkan berbagai
strategi jitu dalam mengikuti perlombaan. Pembalap Indonesia selalu kelihatan
jumawa terlebih bertanding di daerahnya sendiri, ketika start pertama selalu
berupaya tetap ada di barisan terdepan sampai melepaskan diri dari rombongan
besar tanpa mengukur kemampuan olah napas dan kayuhan, sehingga pada akhirnya
stamina terkuras. Kita dapat berkaca pada perlombaan balap sepeda Tour d’
Indonesia beberapa waktu yang lalu
tepatnya tanggal 6 Oktober 2011 di etape
V antara Semarang dan Tawamangu. Saat itu pembalap kita Maruli Pajar Mulia dari Custom Cycling Club (CCC), melaju dan
melepaskan diri di 10 km selepas start, sungguh mengejutkan Maruli berhasil memimpin sampai 110 km hingga Karanganyar,
tetapi ketika 30 km menjelang finish pembalap asal Solo ini
drop serta tertinggal jauh
dari pembalap yang punya strategi jitu , dan para pembalap yang tadinya
berombongan berebut menyusul terutama pembalap spesialis tanjakan dan mereka
berhasil tiba di garis terdepan mendahului Maruli. Manager CCC, M Irham juga
menyayangkan tindakan Maruli, dan dia tidak menginginkan tindakan serangan
awal-awal kilometer (Kompas,21/10). Hal ini yang membuat kita semua kecewa padahal kenapa tidak dari awal manager
atau pelatihnya memperingatkan jangan sampai hal itu terjadi terhadap Maruli.
Saya kurang tahu apakah pelatihnya tidak profesional atau pemainnya yang
jumawa. Yang jelas kedua-duanya ada hubungan sebab akibat.
Yang ketiga atlet Indonesia terutama di tingkat junior dan amatir kurang
bimbingan teknis yang memadai, mereka dibiarkan berlatih atas kemauannya
sendiri dengan biaya sendiri tanpa didampingi seorang pelatih atau mentor yang
selalu setia mendampinginya. Mereka cenderung berlatih tanpa perhitungan
sehingga dapat menyebabkan kelelahan fisik dan pemborosan waktu yang tidak
menghasilkan perbaikan pada kualitas dan mutu pembalap. Pembalap cenderung
berlatih tidak teratur dan tanpa tujuan yang jelas terlebih membuat perencanaan,
skala prioritas, pencapaian akhir dan evaluasi dalam berlatih. Hal ini yang
menyebabkan pembalap kita buta terhadap strategi yang dimiliki. Salah satu
jalan yang perlu di tempuh oleh federasi adalah menyediakan pelatih yang
mumpuni bagi setiap daerah, terlebih atlet pelatnas.
Hal keempat adalah fasilitas arena balap, saya belum melihat veledroom yang dibangun di setiap
daerah. Untuk memberikan keleluasaan kepada pembalap dalam berlatih. Selama ini
hanya ada di veledrom Rawamangun yang
fasilitasnya memadai, itupun disediakan untuk atlet-atlet pelatnas. Begitu pula
untuk atlet Road race, kita belum menyediakan jalan khusus berlatih bagi para
pembalap di setiap daerah. Selama ini para pembalap selalu berlatih di jalan
raya yang keberadaannya sangat padat sehingga dapat mengancam keselamatan
pembalap itu sendiri. Pembalap harus berebut jalan dengan pengguna jalan raya
serta bergelut dengan polusi udara yang tidak menyehatkan.
Kelima, atlet Indonesia di tingkat amatir tidak pandai mengatur pola makan
sehingga kekuatan fisik yang dimiliki kurang baik. Pada akhirnya pembalap
Indonesia kekuatannya cenderung tidak merata, karena sebagian mereka
mengandalkan kekuatan fisik alami serta tidak diimbangi oleh asupan gizi yang
memadai. Seorang pembalap Internasional dan telah beberapa kali menjuarai Tour d’ Franc bernama Greg Lemond dengan pengaturan serta
asupan gizi yang baik dibarengi dengan latihan yang sesuai porsi, walaupun dia
mempunyai ginjal hanya sebelah saja akan tetapi dia mampu menjuarai berbagai kejuaran sepeda tingkat dunia berulang-ulang.
Saya teringat ketika suatu saat latihan, saya dan kawan-kawan satu klub akan menjalani route jalan raya dengan
jarak 120 km hanya sarapan pagi makan comro, padahal menurut ahli gizi seorang olahragawan wajib mengkonsumsi makanan yang kaya akan vitamin, karbohidrat
dan makanan yang mengandung potasium
ketika menjalani latihan sesuai kalori yang dibutuhkan oleh tubuh.
Terakhir yang penting dipikirkan federasi adalah adanya kepedulian terhadap klub-klub balap
sepeda yang ada di daerah. Selama ini klub-klub cenderung mati enggan hidup tak
mau, saya melihat keberadaan klub tumbuh seperti jamur, tumbuh ketika musim hujan tiba dan
berhenti ketika musim kemarau. Menurut hemat saya penting dilakukan sejenis
perlombaan klub-klub dari mulai kelas amatir, kelas kontinental sampai tingkat nasional
dan internasional untuk menuju atlet profesional. Untuk itu perlu mendatangkan pembalap
atau pelatih bayaran dari manca negara
sehingga dapat memacu gairah para pembalap dalam negeri untuk bersaing secara
profesional. Atau jika perlu dibuat sejenis pertandingan ISL pada pertandingan
sepakbola. Sehingga dapat terjalin kompetisi yang kontinyu serta dapat
melahirkan bibit-bibit muda potensial.
Akan tetapi saya optimis dengan perkembangan akhir-akhir ini dimana
khalayak bahkan para pejabat banyak yang mencanangkan bike to work dan tumbuh
klub-klub balap sepeda yang mumpuni, mudah-mudahan awal yang baik ini merupakan
kebangkitan bagi dunia persepedaan terutama balap sepeda di Indonesia, serta dapat
memancing gairah dan keinginan generasi
muda untuk menjadi pebalap sepeda
profesional. Saya sedikit lega ketika mengikuti perkembangan perhelatan Tour d’
Indonesia beberapa waktu yang lalu, dan pembalap Indonesia (Bambang Supriadi)
dapat mengenakan kaus kuning dan
memakainya selama empat hari balapan. Ini adalah petanda yang baik, dan semoga
harapan itu tidak cuma satu kali. Akhirnya
kepedulian federasi sangat dinanti, dan kita tunggu kiprah para praktisi balap
sepeda dan pesepeda di Indonesia sehingga akan lahir pesepeda sekelas Contador.
gimana ya pak ?Di Indo balap sepeda ga digubrik alias dicuekin,pengen latihan bingung mulai dari mana ga kya sepak bola tempat les / latihannya banyak,lapangan banyak. Di Indo ?sya se-Bandungeun cumen ada 1 velodrom, miris saya
BalasHapus