Ketika
kawan saya mengendarai mobil, begitu tergesa-gesanya karena katanya takut tidak
tepat waktu sampai ditujuan, dia tidak perdulikan kanan, kiri, belakang dan depan
yang penting prinsip dia sama dengan prinsipnya pengendara bus antar kota.
Ketika kepala mobil masih dapat masuk diantara deretan mobil menurutnya pasti
seluruh badan mobil akan lolos dan berhasil menyalib. Saya was-was dibuatnya,
walaupun memang ketika itu kami selamat sampai tujuan.
Dari
kejadian itu saya dapat pelajaran,
ternyata ketika sampai di tujuan kami masih terlambat, dan di luar dugaan
kedatangan kami tidak jauh berbeda dengan teman lain yang berangkatnya
bersamaan, akan tetapi tidak ngebut seperti
kawan saya yang mobilnya saya tumpangi. Setelah saya cek perbedaan tiba kedua
mobil tadi, ternyata hanya 10 menit.
Perbedaan yang menurut saya tidak terlalu jauh, toh akhirnya sama-sama juga terlambat. Jika saja ada kejadian yang
tidak diinginkan dari perjalanan tadi maka menurut saya paling tidak ada tiga
hal yang hilang yaitu, kendaraan rusak, tidak dapat menghadiri acara, dan yang
paling fatal seandainya terjadi kecelakaan dan merengut nyawa. Maka kerugian
akan diderita teman saya, saya sendiri dan penumpang yang lain. Dari peristiwa
itu kita dapat menarik hikmah bahwa ternyata kesabaran sangat diperlukan dari
segala aspek. Kesabaran bukan hanya dapat menolong diri sendiri, akan tetapi
kesabaran dapat menolong orang lain, makhluk sekitar serta dapat menolong kita
baik di dunia dan akherat.
Tentang
kesabaran, saya teringat akan peristiwa yang dialami kawan saya. Cerita ini
diceritakan kepada saya dua bulan yang lalu, dan dia mempersilakan seandainya
cerita ini disampaikan untuk kepentingan dakwah. Mudah-mudahan cerita ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Dan saya akan menceritakan kisah ini dengan gaya
aku.
Dua
tahun aku membangun mahligai rumah tangga, walaupun entah apa yang membuat aku
menikah dengannya, jujur aku tidak tertarik padanya, sebab menurutku apanya
yang menarik dari istriku, pengetahuan agama kurang, wajah biasa, cakap juga tidak,
apapun menurutku semuanya standar saja. Tapi
pada akhirnya aku harus mencoba untuk menyayanginya dan aku berusaha untuk menyadari bahwa ini sudah
suratan dariNYA. Inilah resikonya ketika pasangan hidup ditentukan oleh pilihan
orang tua. Terus terang aku memilihnya hanya karena aku tidak ingin membuat
luka hati kedua orang tuaku.
Rasanya
lelah aku mempunyai pasangan hidup seperti istriku, segalanya serba harus ku
bantu, cuma satu hal yang dikerjakan
istriku dan rutin dia kerjakan adalah mengikuti pengajian seperti tidak ada
bosannya. Walaupun hati kecilku pernah berujar, istriku ahli beribadah. Tapi
saat ini aku berpendapat segala macam yang istriku perbuat sama sekali tidak
mampu memuaskan hatiku. Masakannya kemasinan, cuciannya kurang bilas, ngurus diri sendiri saja tak becus, dan aku perhatikan setiap yang istriku kerjakan semuanya salah
dan salah. Dalam sehari minimal aku bisa
memarahinya seperti minum obat satu hari tiga kali, tapi aku akui istriku tak
pernah menimpali perkataan yang aku lontarkan. Biasanya ketika aku ngerutuk,
jawabanya adalah air yang keluar dari pelupuk matanya. Pikirku,...ugh...dasar wanita...air mata jati senjata,..
Hari itu aku tidak
berangkat kerja,..istriku berkata,.”pa...boleh ngak..ibu diantar ke pengajian,
mumpung bapa ada?.,aku menjawab spontan,...jadi aku tidak disuruh istirahat
ya,..biasanya khan tidak ada yang ngantar. Sendiri aja sana.!, istriku hanya
diam tanpa menjawab perkataanku, dia hanya tersenyum, sembari berkata, pa
...ibu berangkat dulu ya,...seraya menghampiri
dan mencium tanganku. Dia berangkat dengan langkah gontai, dengan
pakaian ala penganut syiah, dengan gamis
dan jilbab panjang, dan sepengetahuanku hanya itu-itu saja yang dia pakai, dan
membuatku bosan melihatnya. Taat sih taat,.. tapi kalau melihat penampilan
seperti itu, siapa tidak pusing dibuatnya.
Memang dalam nukilan salah satu hadits
para wanita tidak diperbolehkan berdandan berlebihan, tapi apa salahnya kalau
memang untuk suaminya, menurutku sah-sah saja jika istriku besolek sedikit
saja, jangan sampai aku dibuat malu oleh orang lain atas tindakannya.
Petang
itu, hampir menjelang maghrib tak biasanya istriku belum pulang. Walaupun aku tak biasa mengantarnya tapi hari
itu firasatku kurang enak. Pikiranku negatif,
terang saja sebab ketika itu selain hujan gerimis, istriku sedang hamil
tua sedangkan dia mengendarai kendaraan roda dua sendirian. Seculas-culasnya suami pasti khawatir
terhadap istri yang sedang hamil tua dan mengandung anak pertama.
Dengan
hati ikhlas tapi tak rela bercampur waswas, aku
beringsut menyusul istriku dengan perasaan ngedumel menyalahkannya, dalam hatiku berkata, coba ..tadi khan sudah aku bilangin kenapa tak mau memakai mobil, biar
butut tapi khan ngak kehujanan, kalau
sudah begini aku juga yang repot, dasar
istri kualat, gumamku. Padahal ketika istriku berangkat aku tidak pernah
memberi izin istriku untuk memakai kendaraan roda empat, semenjak istriku
menambrak trotoar setengah tahun setelah menikah.
Sampai
di masjid dimana istriku tempat mengikuti pengajian, aku berhenti dan perasaanku
lega sebab ku lihat ternyata masih banyak orang di masjid serta hadir
bapak-bapak yang mau menjemput istrinya dan sepertinya orang berada, pengusaha
dan orang-orang kantoran. Aku sempat keder,
sebab aku hanya pengusaha kelas teri, namanya saja pengusaha kecil dan
menengah. Tapi aku cuek saja, sambil bertanya kepada pria perlente kepala plontos, pak
belum pulang ya?,..Belum pak, ..jawabnya...katanya sih ada rapat setelah acara liqa’ jadi pulangnya terlambat.
Oh...gitu ya...aku tersenyum sambil menganggukan kepala. Terpaksa menunggu walaupun sudah tahu keberadaan istriku dan
hujan mulai reda, tapi aku tetap menghawatirkannya, maka sambil menunggu istri
masing-masing, aku ngobrol ngalor-ngidul.
Kulihat
satu persatu jamaah keluar dari
mesjid, aku perhatikan pakaian ibu-ibu pengajian itu begitu bagus-bagus dipadu
jilbab yang rapi, make up yang manis plus sepatu mahal yang dipakainya.
Dimana istriku...gumamku, seraya melihat ke arah pintu masjid,..nah..itu bidadariku,
kulihat sosok wanita sederhana memakai gamis abu-abu, jilbab panjang warna
putih berjalan gontai keluar dari masjid, seraya menghampiri teras mesjid
mengambil sandal jepit yang terhimpit diantara sandal dan sepatu yang
mewah. Tak terasa...tes..tes...tes,..air
mata meleleh dari kedua bola mataku. Aku tak tega melihat istriku memungut
sandal jepit diantara tumpukan sandal dan sepatu yang mewah. Hatiku
terketuk,..aku baru menyadari, betapa aku sibuk dengan kelemahan istriku, menonjolkan
keburukan istriku, dan banyak menyalahkan istriku. Sedangkan sandal istri saja tak pernah aku
pikirkan, terlebih baju bagus. Padahal istri itu adalah perhiasan bagiku, yang
wajib aku perhatikan seperti yang telah aku janjikan di dalam sighot taklik ketika aku ijab kabul.
Aku baru
sadar, betapa aku mendholiminya, aku telah menuntut banyak hal tapi tak pernah
mencukupi kebutuhannya. Bagaimana mau
cantik kalau lipstik murah saja tidak
ku belikan, bagaimana mau menarik jika baju saja cuma satu kali satu tahun aku
belikan itupun di pasar loakkan, sudah wajar kalau makan kemasinan jika didapur
cuma banyak garam sedangkan bumbu lain cuma segenggam. Sungguh salut aku pada
bidadariku, biar uang belanja kutakari dia sanggup menutupinya dengan cara
memberikan les privat matematika di komplek perumahan tanpa kata mengeluh.
Tak
terasa, aku menanggalkan rasa maluku, diantara orang-orang yang melongo
menatapku, aku berlari menghampiri bidadariku dan tanpa sepengetahuannya,
kurangkul sambil menangis meledak sesegukkan. Aku sungguh beruntung mempunyai
pendamping hidup sesabar dirimu, yang jika ditegur selalu menundukkan
pandangan, tersenyum atau menangis manja.
Sekarang tak boleh lagi dirimu menagis karena ulahku, tapi menagislah
karena rasa bahagia berdampingan denganku.
Dari
kisah nyata ini kita beroleh pelajaran, begitu dahsyatnya kesabaran seorang
istri yang mampu menaklukan hati seorang suami yang keras bagai batu. Keyakinan
seorang istri dapat terwujud ketika istri pandai bersabar demi keutuhan rumah
tangga. Saya pernah bertemu dengan istri si empunya cerita, menurutnya dia
begitu lama mempelajari tabi’at suaminya, dan dia yakin bahwa suaminya punya
dasar dan keturunan orang yang shaleh, dan dia yakin suaminya dapat menjadi
baik jika dia sabar menghadapinya, dia telah membuktikan perkataannya serta
berhasil menyadarkan suaminya.
Sabar
mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan, padahal sesungguhnya sabar adalah
perintah Allah yang memberikan pahala jika kita kuat dalam melakukan kesabaran,
difirmankan oleh Alloh : “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah
kamu dan kuatkanlah kesabaranmu” (QS. Ali Imran [3] 200).
Selanjutnya dalam firman
Alloh yang lain : “ Dan, sungguh akan
kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar” (QS Al-Baqarah [2] :155)
Seringkali kita tidak sabar ketika dihadapkan pada
peristiwa yang sulit, padahal sesungguhnya kita sedang diberikan ujian yang
hakekatnya dapat kita hadapi, sebab Alloh tidak pernah memberikan ujian di luar
batas kemampuan diri kita. Ujian itu ibarat kita mengendarai kendaraan, kapan
kita belok, kapan menginjak rem, kapan menginjak gas, dan kita harus dapat
mengendalikannya dengan kesabaran serta kehati-hatian dalam mengendarainya.
Terakhir saya mengutip
tulisan Dr Muhammad Syafi’i Antonio,MEc, “Sabar di zaman sekarang kuncinya 5 T
yaitu : Teguh pada prinsip, Tabah,
Tekun, Tidak cepat putus asa, dan Tahapan menuju sukses”.
Subhanallah...
BalasHapus