Manasik (Foto Ilustrasi) |
Memberi
apa yang kita punya walau sedikit
barangkali semua orang mampu walaupun agak terpaksa. Tetapi yang luar biasa
adalah ketika kita memberi terhadap orang lain akan tetapi yang diberikan itu
sangat berat untuk melepaskannya. Hal itu dapat kita pelajari dari perjalanan
hidup Rasul Allah Ibrahim AS, cerita yang tidak hanya dijadikan cermin oleh
umat manusia, juga menggambarkan betapa sebuah kisah yang menjadi legenda yang tak lekang oleh zaman.
Cerita yang bukanlah dongeng biasa , dan
selalu diperingati hingga kini dan sampai nanti akhir zaman. Umat Islam
memperingati secara simbolik berupa penyembelihan hewan kurban, hal itu dalam
rangka memperingati peristiwa keagungan akhlak seorang nabi yang dicontohkan kepada umatnya. Bagaimana tidak, sebagai orang tua begitu relanya beliau
korbankan semata-mata karena perintah
Allah. Walaupun dalam hatinya berat, akan tetapi dengan keyakinannya Ibrahim
dengan ikhlas dan penyerahan total , Tauhid al Ibadah serta berikrar akan
mengerjakan perintah Allah tersebut. Walaupun belakangan Allah gantikan nyawa Ismail dengan
Penyembelihan Agung, sebagai pengakuan atas kepatuhan Ibrahim kepada Allah.
Peringatan
peristiwa itu merupakan kegiatan sakral yang menyatukan kalbu manusia dengan Allah yang diritualkan oleh penyembelihan
hewan Qurban. Pengorbanan yang tidak sebanding dengan apa yang dilakukan oleh
Nabi ibrahim AS dalam Qalbunya kala itu, tapi penyembelihan itu dapat dijadikan
tolok ukur rasa pengejewantahan Qalbu kita terhadap rasa keinginan untuk
mendekatkan nurani kita terhadap sang
Kholiq serta rasa berbagi antar sesama.
Sebab hakekatnya penyembelihan hewan qurban itu adalah sebagai
perwujudan perintah Allah serta rasa keinginan kita untuk membangun kedekatan
kita terhadap kaum muslim yang lain.
Semangat
qurban merupakan inti ibadah sebagai perwujudan dari rukun Islam yang kelima,
harus direfleksikan dalam bentuk kegiatan yang hakiki. Sebab hakekatnya kita
sebagai manusia tak cukup hanya
mempunyai semangat ritual individual, tapi yang lebih perlu diupayakan adalah
bagaimana kita dapat membangun paradigma baru dalam sendi-sendi keislaman serta
mampu membangun struktur kesalehan
sosial yang kokoh.
Dalam
sebuah tulisannya DR Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Jakarta) mengatakan bahwa
dalam semangat dan semarak dakwah serta ritual keagamaan di Indonesia tak mampu
mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang
justru dipraktikan adalah yang dianut oleh negara-negara sekuler. Selanjutnya Komaruddin, merujuk dari seorang
peneliti dari The George Washington University yakni Scheherazade S Rehman yang
dipublikasikan dalam Global Economy Journal ( Berkeley Electronic Press, 2010)
menilai bahwa dari 56 negara anggota OKI
(Organisasi Kerjasama Islam) yang memperoleh nilai tertinggi adalah Malaysia
(ke-38), Kuwait (ke-48), dan rata-rata negara OKI masuk di urutan 139 serta
sisanya termasuk Indonesia berada di
urutan ke 140 dunia dari 208 negara yang
paling Islami. Dapat dibayangkan dari
140 negara itu yang paling Islami adalah negara Selandia Baru diikuti diurutan
kedua adalah Luksemburg dan sebagaimana kita ketahui negara itu tidak dihuni
oleh mayoritas penganut Islam. Dalam penelitiannya tersebut Rehman mengukur dari aspek seberapa jauh ajaran Islam itu membentuk kesalehan sosial
berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Seandainya saja yang dijadikan indikator
dalam penelitian itu adalah aspek ritual-individual saja, saya yakin Indonesia
di urutan pertama. Bagaimana tidak, perkembangan masyarakat Islam Indonesia
yang menunaikan ibadah haji setiap tahun meningkat. Bahkan sampai berbentuk
list daftar tunggu pemberangkatan, jika kita setor haji tahun 2011 ini berarti
kita akan menunggu sampai 2017 atau bisa jadi
tahun 2020, baru dapat berangkat haji. Sesuatu yang musykil terjadi di
negara-negara penganut Islam yang lainnya. Hal itu menandakan betapa antusias
dan sangat besar keinginan umat Islam kita dalam menunaikan ibadah haji, selain
itu setiap ramadhan bagaimana penuhnya masjid-masjid di Indonesia terutama saat melaksanakan
ibadah shalat Ied, umat Islam tumpah
ruah sampai ke jalan-jalan protokol. Setiap parpol, ormas, para pejabat ketika
ada acara amal dan bakti sosial terlebih
saat kampanye terus bermunculan, bank-bank Islam bermunculan menerapkan ekonomi
syari’ah. Akan tetapi kita lupa bahwa
perilaku sosial di Indonesia sangat jauh dari ajaran Islam dibuktikan dengan
maraknya korupsi, sistem ekonomi dengan bunga tinggi, kekayaan tidak merata,
persamaan hak mendapatkan pelayanan bagi
semua warga negara dan hak untuk memperoleh pendidikan yang layak sehingga
mampu berkembang, serta banyak aset-aset sosial yang ada banyak mubazir.
Ternyata benar apa yang diutarakan Lehman, bahwa apa yang dikecam ajaran Islam
itu ternyata sangat mudah ditemukan di negara-negara muslim ketimbang
negara-negara barat. Saya kurang paham betul apakah kesalahan ini terletak pada
perilaku masyarakat atau pada sistem pemerintahannya. Yang jelas dari hasil
temuan Lehman bahwa perilaku sosial, ekonomi, budaya dan politik di negara-negara
mayoritas muslim justru berjarak lebih jauh dari ajaran Islam dibandingkan
dengan negara non muslim. Saya berasumsi cepat atau lambat bila hal ini terus
terjadi maka negara-negara non muslim berperilaku lebih Islami dibanding
penganutnya.
Saya tertarik
oleh tulisan Syafiq Basri Assegaf dalam tulisannya beliau mengisahkan ada dua
malaikat bercakap-cakap di dekat ka’bah di Masjidil Haram :
-
Berapa
jumlah orang yang naik haji tahun ini ?
-
Enam ratus ribu.
-
Berapa
yang diterima hajinya ?
-
Hanya dua orang, salah satunya bahkan
tidak menunaikan hajinya kesini.
Kisah yang bernuansa sufi
itu dinisbatkan kepada ulama Abdullah bin Mubarak dalam mimpinya . Dalam mimpi
itu malaikat berkata bahwa satu orang yang tidak pergi dan diterima hajinya adalah Ali bin Al –Mufiq,
orang Damaskus. Dan ternyata Al-Mufiq adalah seorang tukang
semir sepatu yang menyerahkan 3000 dinar hasil tabungannya untuk bekal haji kepada tetangga dan memberi
makan anak-anak yang sudah tiga hari kelaparan.
Dari kisah itu setidaknya kita dapat mengambil hikmah
betapa besar pahala bagi orang-orang yang memberi santunan dengan hasil jerih
payahnya sendiri tanpa mengharap imbalan. Selama ini kita terobsesi bahwa rukun
Islam yang kelima harus diwujudkan dengan menunaikan ibadah haji secara nyata,
sehingga mengecilkan orang yang berkeinginan untuk menunaikannya akan tetapi
tidak mampu secara finansial. Kisah ini
memberikan keteladanan dalam perilaku kesalehan sosial berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Nabi Muhammad sendiri mengajarkan menyantuni
janda tua dan orang miskin pahalanya setara dengan orang yang terus menerus
shalat malam dan terus menerus puasa. Demikian pula mencari ilmu satu hari
lebih utama nilainya dibandingkan dengan puasa tiga bulan. Sebaliknya tidaklah
beriman seseorang yang tidur kenyang sementara tetangganya kelaparan. Menunaikan ibadah haji mempunyai
pahala yang besar disisi Allah tapi akan lebih besar lagi manakala sepulangnya dari haji menjadi haji
yang mambrur tanpa mengulangi perbuatan yang tercela. Jangan sampai dari jamaah
haji yang berjumlah 2 juta orang kita tidak termasuk kedalam dua orang yang
diceritakan oleh Assegaf diatas.
Satu contoh diatas menggambarkan betapa nilai-nilai
keislaman belum begitu diaplikasikan oleh umat muslim secara sempurna, kita
cenderung beribadah hanya sekedar ritual individual, yang berbentuk pelepasan
dari rasa tanggungjawab terhadap Alloh dengan tidak diimbangi oleh sikap,
perilaku, tutur kata serta keperdulian terhadap sesama manusia selepas
melaksanakan ibadah itu sendiri. Tidak perlu jauh kita ambil contoh bagaimana
kebiasaan kita mengantre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong serta
nilai-nilai Islami lainnya yang justru sangat sulit kita jumpai akhir-akhir
ini. Muhammad Abduh seorang ulama besar pernah berujar saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi
kalau orang muslim banyak saya temukan di dunia Arab. Bisa jadi juga kita
berujar senada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar