Sekolah di Papua ( foto :aristmundo.blogspot.com) |
Indonesia merupakan negara yang jumlah penduduk serta aset sumberdaya manusia yang sangat
besar akan tetapi pemerintah belum berhasil dalam meningkatkan mutu sumberdaya
manusia serta pendidikan secara merata.
Walaupun kenyataannya pemerintah telah menggelontorkan anggaran seperlima dari
APBN , dan jumlah ini merupakan jumlah anggaran yang sangat besar, tapi masih
belum mampu meningkatkan mutu pendidikan serta menciptakan angkatan kerja yang
berkualitas. Ketimpangan mutu pendidikan di Indonesia, akan menimbulkan jurang
pemisah, terutama untuk daerah-daerah kawasan timur Indonesia dan selama ini
sepertinya pendidikan dan sumberdaya manusia yang cukup berkualitas hanya terpusat
di dua pulau yaitu Jawa dan Sumatera dan sebagian Sulawesi, sedangkan di luar
kedua pulau tersebut peningkatan mutu pendidikan serta SDM dan perbaikan
ekonomi masih jauh dari harapan, ketimpangan ini juga terlihat dari pendapatan
perkapita penduduk, menurut data yang dirilis UNDP bahwa
pendapatan rata-rata per kapita di Jawa dan Sumatera adalah 3000 US$, sementara di luar kedua pulau itu adalah 1000
US$. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi dan kualitas SDM yang
dimiliki dari angkatan kerja di Indonesia. Walaupun pendapatan perkapita tidak
dapat dijadikan dasar untuk mengukur ketimpangan mutu SDM dan mutu pendidikan
di Indonesia, tapi paling tidak mutu SDM dan pendidikan adalah salah satu tolok
ukur kualitas angkatan kerja. Angkatan
kerja SD dan tidak tamat SD amat melimpah padahal demografi pendidikan yang
dicanangkan dengan WAJAR 9 tahun merupakan produk angkatan kerja yang baik ,
tapi angkatan kerja yang banyak
dipekerjakan justru adalah SD dan tidak tamat SD. Walaupun sekolah kejuruan
sudah diupayakan didirikan untuk menumbuhkan angkatan kerja berkualitas, selain
itu pendidikan kejuruan D3 bermunculan dengan segenap keterampilan yang
dimiliki, tetapi hal ini belum berhasil diserap untuk menumbuhkan angkatan
kerja yang baik, justru tamatan pendidikan keterampilan masih banyak terjebak
dalam kubangan pengangguran terpelajar.
Mutu manusia Indonesia tidak terlepas dari faktor
pendidikan, dan pendidikan yang berkualitas harus ditopang oleh SDM pendidik
yang mumpuni, celakanya pendidik yang berkualitas terutama tamatan dari lembaga
/Universitas ternama enggan ditempatkan di daerah terpencil dan tersentral di
perkotaan , dan kenyataannya pendidik di daerah terpencil hanya berpendidikan
SMA itupun masih untung, ada saja yang mengajar hanya dibekali keberanian
walaupun tidak tamat SMA. Selain itu mereka hanya diupah uang lelah dari dana BOS maksimal
sebesar 300.000 rupiah. Saya tidak bisa
membayangkan bagaimana mutu pendidikan mau berkualitas kalau yang pengajarnya
saja masih kembang kempis bertarung dengan kehidupan yang layak. Sehingga pendidikan yang disampaikan
asal-asalan, walaupun ada jadwal mengajar yang telah disusun akan tetapi
aplikasinya masih acak-acakan. Malah cenderung ada unsur pembiaran dalam proses
pembelajaran yang diberikan. Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, ketimpangan ekonomi antar
daerah, penghasilan yang tidak memadai, tempatnya jauh dan terpencil, serta
sarana prasarana dalam proses belajar mengajar kurang mendukung. Selayaknya
pendidik yang sudah dipekerjakan oleh pemerintah serta penempatannya tidak
merata dan tidak mau ditempatkan di daerah terpencil di luar Jawa dan Sumatera,
harus diupayakan agar pemerintah memberikan porsi lebih banyak dalam
pengangkatan di daerah yang masih kurang tenaga pendidiknya. Hal itu diperparah
dengan ketimpangan perlakuan antara Sekolah Negeri dan Sekolah Swasta, padahal
keberadaan sekolah yang dikelola oleh lembaga atau yayasan jumlahnya lebih banyak, dan disana terdapat
tenaga kependidikan yang belum diperhatikan secara serius oleh lembaga atau
yayasannya. Dan mereka cenderung diberi upah yang tidak layak dan terkesan
asal-asalan, sehingga imbasnya kualitas peserta didik akan terabaikan.
Selain porsi tenaga kependidikan yang harus
diperhatikan adalah bagaimana kepedulian pemerintah dalam menjaga aset SDM yang
bermutu yang telah ada, jangan sampai sumberdaya yang baik dan berkualitas serta
hasil susah payah negara dalam memberikan beasiswa kepadanya banyak dibajak
oleh negara-negara yang sedang gencar meningkatkan sumberdaya manusianya.
Kita tak perlu menyalahkan mereka dan
negara penampungnya, karena itu sudah pilihan hidupnya, dan mereka mencari dan
mengharapkan penghargaan yang layak. Maka sudah saatnya pemerintah memberikan
penghargaan yang layak bagi para guru, dosen dan peneliti kita walaupun terbentur
anggaran yang tersedia tetapi hal ini harus diupayakan sekuat tenaga. Kalau negara
mereka sanggup kenapa kita tidak. Dulu saja kita sanggup menjadi negara yang
terkenal akan sumberdaya manusia yang berkualitas, tapi sekarang di era
globalisasi serta disaat-saat persaingan bebas yang ketat antar negara kita
nyaris terjerumus kedalam gulungan ombak keterbelakangan sumberdaya manusia.
Keterbelakangan mutu pendidikan juga tidak
terlepas dari kebijakan kurikulum yang dirancang, kita telah terjebak oleh ketidak
konsistenan dalam kebijakan kurikulum yang selalu berubah setiap berganti
presiden dan menteri , sebut saja dari mulai sistem Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
sampai sekarang sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sudah berulang kali
berubah-ubah, hal ini dapat berimbas terhadap keberhasilan mutu pendidikan di
Indonesia. Karena kurikulum yang dibuat tidak dikaji sesuai jenjang waktu,
proses pelaksanaannya dan evaluasi keberhasilan secara konprehensif. Kita tidak
sadar bahwa keberhasilan mutu pendidikan dan sumberdaya manusia akan terlihat
dengan rentan waktu yang cukup lama. Suatu hal yang kurang meyakinkan jika kita
mengukur keberhasilan itu hanya dengan kurun waktu yang singkat. Untuk itu
perubahan kurikulum perlu jeda waktu yang cukup lama serta perlu perencanaan (planing) yang jelas. Dan kenyataannya
pendidikan yang digulirkan oleh pengambil kebijakan tidak mempunyai planing
yang cukup jelas, antara strategi serta target yang ingin dicapai.
Dalam menghadapi tantangan global dan mengejar
ketertinggalan kita dalam pengelolaan sistem pendidikan untuk menciptakan
sumberdaya manusia yang handal, menurut saya perlu adanya kurikulum yang tepat
dan akurat diantaranya menciptakan kurikulum gebrakan ( Soft Skill) diantaranya
keterampilan, naluri peserta didik dalam berbahasa, berbudaya, nilai moral yang
baik serta kewirausahaan dan lain-lain. Sebab selama ini kita selalu menerapkan
pendidikan dengan kurikulum Hard skill, dimana peserta didik dituntut untuk
mampu menghafal serta pandai secara akademik tanpa diimbangi oleh kecerdasan
emosional, dan kecerdasan spiritual. Padahal hard skill dapat menyumbangkan
keberhasilan pendidikan sebesar 20 % saja sedangkan soft skill dapat menuyumbangkan
keberhasilan pendidikan sampai 60 %.
Pembuat kebijakan hanya mengukur kecerdasan dari
sejauh mana kemampuan peserta didik dalam menempuh ujian dengan nilai yang
sudah distandarisasi dengan cara penyeragaman, tanpa melihat sejauh mana
ketimpangan sumberdaya pendidik, serta sumberdaya manusia yang dimiliki oleh
daerah tersebut. Hal yang perlu dicatat bila di Jakarta di target nilai standar
7,5 maka secara otomatis di daerah
terpencil yang terbelakang dengan minim sarana dan prasarananya juga akan diberlakukan
dengan standar nilai rata-rata yang
sama. Hal ini akan memicu keterpaksaan dari
lembaga pendidikan di daerah terbelakang tersebut untuk mengejar nilai
yang telah ditetapkan dengan cara-cara yang tidak jujur. Dampaknya akan
mengganggu psikologis dan perilaku pendidik dan peserta didik itu sendiri,
sehingga kalau dibiarkan maka 25 tahun yang akan datang Indonesia akan
menghasilkan sumberdaya manusia yang tidak percaya diri serta ketidak jujuran
bukan barang yang aneh, dari buah sistem pendidikan yang kita terapkan saat
ini.
Selain itu mutu pendidikan serta sumberdaya manusia
hendaknya diupayakan agar setiap anak bangsa dapat menikmatinya secara merata
tanpa pandang bulu, karena hakekatnya hak memperoleh pendidikan yang layak
adalah hak warga negara seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Hal itu
diperkuat oleh UU sistem pendidikan nasional Bab III pasal 4 ayat 1 yaitu
pendidikan diselenggarakan secara demokratis
dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural, dan kemajemukan bangsa. Sehingga sudah sewajarnya hak memperoleh
pendidikan tidak tersentral di satu atau dua pulau semata. Selain itu hendaknya
tidak ada lagi pengkotakan status sekolah serta peruntukannya. Saya melihat
bahwa sekolah-sekolah bermutu cenderung dinikmati oleh orang-orang dari kalangan
tertentu dikarenakan ada slogan bahwa pendidikan yang bagus adalah pendidikan
yang biayanya mahal. Masuk akal memang,
tapi apakah tidak mendistorsi keinginan anak bangsa yang prestasinya bagus
namun keterbatasan dana untuk menempuhnya.
Berangkat dari yang diutarakan saya diatas,
pemerataan mendapatkan pendidikan adalah hal yang patut kita cermati, sehingga
hal-hal yang akan mengakibatkan ketimpangan kualitas sumberdaya manusia yang
muaranya ketertinggalan bangsa ini hendaknya menjadi buah pikiran seluruh
elemen bangsa, sebab bukan tidak mungkin hal ini akan mengakibatkan kelemahan
generasi kita dimasa yang akan datang.
Seorang ahli ekonomi dari Universitas Oxford berpendapat bahwa pada
tahun 2050 Indonesia diprediksi akan menjadi negara super power di dunia.
Menurut pendapat saya jika penangganan sumberdaya manusia dengan memperhatikan pengelolaan pendidikan yang baik
maka pada tahun 2025 Indonesia akan menjadi negara super power. Hal itu kita
perlu bercermin terhadap keberhasilan Singapura dalam mengelola sumberdaya yang
baik, kalau kita hitung dari mulai tahun 1965, berarti dalam jangka waktu 45
tahun mereka berhasil membangun sistem pendidikan dan SDMnya dan menjelma menjadi raksasa ekonomi di Asia
Tenggara bahkan di dunia. Saya berasumsi kalau Singapura yang minim sumberdaya
alam dan luasnya hanya sepelemparan batu saja dibanding Indonesia sanggup seperti itu, kenapa Indonesia yang luasnya
jutaan kilometer persegi dengan sumberdaya alam yang melimpah dan jumlah
penduduk yang banyak tak mampu melampauinya.
Kita menyadari pekerjaan ini adalah bukan
pekerjaan yang mudah, disamping kita mempunyai wilayah yang sangat luas serta
jangkauan antar daerah juga cukup sulit karena dikelilingi oleh lautan serta
infrastruktur yang belum maksimal. Dan yang lebih rumit lagi kita dihadapkan
terhadap SDM yang multi etnik. Akan tetapi semua itu tidak menjadi sebuah
alasan sebab dengan teknologi informasi yang semakin pesat bukan suatu hal yang
mustahil kita dapat berkomunikasi dengan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Dan keragamanan etnik itu paling tidak dapat diantisipasi dengan pendidikan
yang tidak mengenyampingkan kearifan lokal dalam kurikulumnya dan keragaman
etnik justru akan menjadi modal dan kekuatan bangsa ini untuk menjadi bangsa
yang besar. Suatu hal yang cukup cerdas jika dari awal pendidikan dasar dan
menengah sampai pendidikan tinggi, peserta didik diarahkan kepada sejauh mana
minat serta bakat mereka sendiri. Sehingga kedepan kita tidak kesulitan untuk
mendapatkan teknokrat yang unggul, atlet yang disegani di dunia, negarawan yang
menjadi panutan, seniman yang menjadi inspirator dan lain-lain. Selama ini
peserta didik dipaksa untuk menekuni berbagai bidang ilmu dan akhirna peserta
didik hanya mampu mendapatkan satu lembar ijazah tanpa ahli dalam satu bidangpun.
Untuk mencapai yang dicita-citakan bangsa ini
yaitu menuju bangsa yang adil dan makmur tentunya perlu langkah-langkah yang
tepat dalam pembangunan SDM utamanya pendidikan yang merata terhadap seluruh
anak bangsa. Hal itu termaktub dalam visi dan misi pendidikan Nasional
diantaranya, mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia,mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (
lembar tambahan UU Sisdiknas , hal 72-73).
Perhatian serta kepedulian pemerintah terhadap pembangunan pendidikan dan
sumberdaya manusia hendaknya memberikan ruang yang luas untuk segenap elemen
bangsa dalam mendapatkan pendidikan yang layak dan bermartabat. Dengan demikian ketimpangan pendidikan di
Indonesia tidak terus menerus terjadi, dan jika penangganan SDM serta mutu
pendidikan dapat dilakukan secara merata dan berkesinambungan maka tidak akan
ada lagi kata iri hati dari sebagian elemen bangsa, atau merasa dianaktirikan
dalam berbangsa dan bernegara, serta tidak merasa dilibatkan dalam pembangunan
bangsa yang dampaknya akan mengarah
kepada disintegrasi bangsa.