Oleh : Dadang Rusnandar
ABSTRAK
Aparatur sering dipahami
sebagai majikan, pimpinan, pengelola, serta penentu kebijakan dengan tanpa
campur tangan pihak lain. Padahal seyogyanya aparatur adalah sebagai pelayan,
pengayom, penyumbang tenaga serta pikiran bagi kebaikan organisasi dan kejayaan
bangsa, memiliki kerja secara kolektif
dengan menghasilkan tujuan organisasi yang diinginkan. Dalam pelaksanaan guna
pencapaian tujuan organisasi tersebut serta
demi pembangunan negara maka perlu jiwa dan
tindak-tanduk aparatur yang disesuaikan dengan hukum dengan dilandasi perundangan yang berlaku serta diikat oleh
nilai dan moral yang dimiliki oleh aparatur itu sendiri. Hal yang perlu dilakukan
dan diupayakan adalah teraplikasinya nilai-nilai budaya serta perilaku aparatur
yang baik.
Kata Kunci : Aparatur, nilai-nilai dasar budaya kerja,
perilaku aparatur
I. Pendahuluan
a.
Latar Belakang
Jika diamati dengan seksama,
persoalan yang menjadikan aparatur negara kurang amanah salah satunya
disebabkan oleh terabaikannya faktor moral dan etika. Konsentrasi aparatur
negara lebih banyak bernuansa materi, faktor rohani sangat jarang menjadi
perhatian begitu juga dengan faktor moral. Menurut Vonita (2010), untuk
membangun negara yang baik maka terlebih dahulu membangun peradaban manusia
yang baik, hal ini dapat terwujud dengan membangun individu-individu yang akan
membentuk masyarakat itu sendiri. Sebab individu merupakan pondasi dari
masyarakat. Tanpa memperhatikan hal tersebut, peradaban yang baik sesuai dengan
tujuan bangsa kita tidak akan terwujud. Permasalahan yang mendasar adalah
ketika menemui aparatur yang kurang baik, maka semua sibuk mencelanya tanpa dapat
memberikan solusi. Bahkan kadang bertindak naif, manakala orang lain berbuat
salah, maka dengan bangga ikut-ikutan membuntuti perbuatan itu.
Sebagai aparatur negara sangat rentan
terimbas hal yang negatif (jiwa tak amanah), akan tetapi paling tidak, aparatur
negara harus pandai meminimalisasi perbuatan yang kurang dipahami oleh akal
sehat. Selayaknya sebagai aparatur negara perlu membuka pikiran untuk menaruh
minat dan memantapkan niat untuk senantiasa berpihak kepada rakyat, hal itu
diperlukan pemahaman tentang etika yang baik, pemikiran yang fundamental dan
mendalam tentang kebenaran. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah etika
serta fungsi aparatur dalam proses kebijakan publik, pelayanan publik,
pengaturan/penataan kelembagaan, dan pembinaan. Sedangkan landasan etika dalam
organisasi aparatur yaitu falsafah pancasila, konstitusi UUD 45, TAP MPR, UU
pemerintahan daerah dan lain sebagainya.
Dengan makin besarnya peran aparatur
dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara maka aparatur adalah sebagai
agen pembaharu, pelayan dan pemberdaya masyarakat. Untuk menunjang keberpihakan
terhadap masyarakat, maka aparatur harus mampu merumuskan dan melaksanakan
kebijaksanaan yang berfungsi sebagai motivator dan fasilitator guna tercapainya
swakarsa dan swadaya masyarakat termasuk berusaha meningkatkan kinerja serta
bersikap dan perilaku.
Untuk menjadi aparatur yang bersikap serta berperilaku
yang baik tentunya perlu menanamkan nilai-nilai dasar budaya kerja aparatur
negara, diantaranya mampu melakukan komunikasi dengan diri sendiri dan orang
lain, mampu bersikap empati dengan meningkatkan kecerdasan spiritual disamping
kecerdasan intelektual. Seorang aparatur harus mampu mengelola emosi dalam
bertindak, tidak arogan serta tidak mudah menjustifikasi atau bersuudzhon terhadap atasan atau bawahan
bahkan dengan masyarakatnya sekalipun.
b. Perumusan Masalah
Aparatur adalah abdi negara, yang
keberadaannya semata-mata untuk mengabdikan dirinya kepada negara dan bangsa serta kesejahteraan
rakyat. Akan tetapi pada perkembangannya aparatur belum menunaikan kewajibannya
secara optimal, hal ini belum menjiwai
hakikat pengabdian dan belum mempelajari hakikat nilai dasar pengabdian. Dengan
demikian penulis terpanggil untuk menyampaikan nilai-nilai dasar budaya kerja
aparatur negara sebagai pedoman dasar bagi aparatur dalam bersikap dan berperilaku.
Dalam tulisan ini penulis ingin menggali pertama, dimana letak kelemahan
aparatur negara dalam kegiatan pelaksanaan tugas dan yang kedua, apa saja
nilai-nilai dasar budaya kerja aparatur negara yang semestinya dilakukan.
c. Tujuan Penulisan
Tulisan yang meliputi nilai-nilai dasar budaya kerja
aparatur negara, diharapkan dapat membantu dalam memberikan acuan atau bahkan
inspirasi bagi aparatur negara karena tidak semua aparatur memahami konsep
serta implementasi etika serta nilai-nilai dasar budaya kerja. Selain itu
tulisan ini diharapkan dapat :
1. Mengetahui
nilai dasar budaya kerja aparatur negara serta perilaku yang berkaitan dengan
budaya kerja aparatur negara dalam menjalankan tanggungjawabnya.
2. Memberikan
solusi terhadap patologi budaya kerja aparatur negara, terkait Good Governance, pelayanan publik,
dilihat dari sistem budaya kerja.
d. Metode Pengkajian
Metode yang digunakan dalam penulisan
ini adalah melalui metode kajian pustaka yaitu melalui teori-teori yang ada
kaitannya dengan tema kajian dalam tulisan ini.
II. Landasan Teori
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos
(tunggal) atau kebiasaan, adat, watak, perasaan, siap dan cara berfikir.
Sedangkan Ta Etha (jamak) yang berarti adat istiadat. Dengan demikian etika
adalah tata nilai perilaku yang dianggap baik, lazim serta patut dilakukan.
Menurut Plato (427-348 SM) tujuan etika adalah menemukan aturan dan arahan agar
kehidupan manusia dapat menjadi utuh dan bulat, sehingga manusia tidak hanya
dapat mempertahankan hidupnya melainkan juga mencapai hidup yang bernilai.
Selanjutnya Al Farabi (870-950) dalam Vonita
(2010), menurutnya konsep moral adalah berhubungan dengan jiwa dan politik,
empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan
dunia dan akherat yaitu : keutamaan teoritis, keutamaan pemikiran, keutamaan
akhlak, dan keutamaan amaliah. Selain mengutamaan keutamaan ia juga menyarankan
agar bertindak tidak berlebihan karena dapat merusak jiwa dan fisik, tetapi
mengambil posisi di tengah. Lebih lanjut Sondang P Siagian (2000), aparatur
negara harus mampu menghadapi tantangan yang mungkin timbul baik bersifat
politik, ekonomi, sosio-kultural dan teknologi.
Berdasarkan
pengertian-pengertian yang penulis jelaskan di atas , maka pembinaan mental
yang dimaksud adalah usaha, tindakan, kegiatan yang dilakukan dengan
berdayaguna serta berhasilguna untuk mencapai hasil yang lebih baik tentang
cara berfikir dan perasaan untuk berbuat, bersikap dan melaksanakan kewajiban
serta fungsinya sebagai aparatur negara.
III. Pembahasan
Dalam menghadapi tugas yang semakin kompleks serta
kemajemukan masyarakat yang dihadapi, sebagai seorang aparatur negara harus
mampu bersifat statis serta dinamis dalam mengendalikan diri. Dapat
dipahami dengan tekanan beban kerja yang
berat dengan tidak diimbangi oleh upah yang layak maka dapat dibayangkan
bagaimana hasil kerja yang dicapai. Secara teoritis upah akan berpengaruh
terhadap hasil kerja, cara kerja, budaya kerja, akan tetapi hal tersebut bukan dijadikan
alasan, apalagi berdalih jika upah yang belum dapat mensejahterakan tersebut berdampak
kepada kinerja, sebab lahirnya aparatur negara hakekatnya adalah pengabdian.
Ada beberapa kelemahan aparatur negara dalam mengemban tugasnya, menurut Sondang
P Sagian (2000), beberapa patogoli birokrasi yang dijumpai antara lain ;
1. Penyalahgunaan wewenang serta
tanggungjawab dan pengaburan masalah serta pengalihan beban.
2. Adanya indikasi korupsi, kolusi dan
nepotisme.
3. Adanya indikasi status quo, empire bulding
(membina kerajaan)
4. Ketakutan pada perubahan, inovasi dan
resiko yang diambil.
5. Ketidak pedulian terhadap kritik dan saran
dari rakyat.
6. Takut mengambil keputusan, karena adanya
indikasi kesalahan.
7. Kurangnya kreativitas dan eksperimen dalam
pembangunan
8. Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang
imajinatif, dan misi yang mantap.
9. Minimnya pengetahuan dan keterampilan.
Dari
semua point di atas ada beberapa sebab yang menjadi hal tersebut terjadi,
tentunya sudah merupakan tanggungjawab aparatur itu sendiri baik secara
individu maupun organisasi. Langkah-langah yang perlu diambil yaitu aparatur harus mampu menterjemaahkan
dan mengaplikasikan nilai-nilai dasar budaya kerja aparatur negara.
Nilai-Nilai Dasar Budaya Kerja Aparatur Negara
Upaya untuk senantiasa mendorong
aparatur memahami kewajiban, tanggungjawab dan amanah yang diemban setelah
menyatakan diri sebagai abdi negara, maka salah satu lembaga yang intens
memberikan bimbingan secara resmi itu diantaranya Badan Diklat, dimana aparatur
negara dibekali berbagai macam bidang ilmu agar aparatur mampu memberikan
pelayanan yang prima atau excelent service bagi masyarakat secara keseluruhan.
Namun hal itu tidaklah cukup hanya sebatas teoritis tanpa aplikatif, tetapi
pelatihan diharapkan mampu menciptakan dirinya (individu aparat) atau
organisasi memobilisasikan dirinya. Adapun Dharma dalam Sopian (2011), menjelasan bahwa dimensi reframing dalam
aplikasinya dilakukan melalui tiga unsur yaitu (1) mencapai mobilisasi (achieve
mobilization), (2) menciptakan visi (create vision), (3) membangun sistem
pengukuran (build a measurement system). Hal senada diungkapkan oleh
Espejo,et.al (1996), mengemukakan bahwa organisasi dituntut untuk
mengembangkan kompetensi SDM yang
dimiliki sehingga organisasi mampu memberikan kinerja terbaiknya serta memiliki
kemampuan daya saing.
Kompetensi aparatur negara akan meningkat
jika dapat ditemukan cara yang benar didalam meningkatkan variabel kompetensi
aparatur itu sendiri, hal tersebut meliputi knowledge sebagai basis yang
memberikan pengaruh terhadap peningkatan pada variabel ability, skill dan
altitude. Persoalan mendasar bagaimana cara yang efektif dan efesien dalam
meningkatkan kompetensi aparatur negara. Hal ini dapat dijawab dengan
sejauhmana aparatur dapat mengaplikasikan nilai-nilai dasar budaya kerja sebagai
abdi negara.
Nilai budaya kerja aparatur agar tercapai
sikap dan perilaku yang baik dapat diperoleh dan diyakini akan memperoleh
budaya kerja yang baik dan maksimal jika :
1.
Aparatur
bersikap komitmen dan konsisten dalam bekerja
Seorang
aparatur negara harus komitmen dan konsisten dalam mencapai visi dan misi serta
tujuan organisasi. Aparatur harus mampu mengelaborasikan mind setting terhadap
tujuan organisasi. Menurut Muliawati (2009) pola pikir adalah sebuah
transpormasi dalam mengatasi hambatan dalam mental dan penetapan pola pikir
pencapaian tujuan organisasi. Sehingga pola pikir (mind setting) sangat besar
pengaruhnya dalam pengembangan budaya kerja. Hal tersebut disebabkan karena
dalam pengembangan budaya kerja membutuhkan fleksibilitas berfikir. Khususnya
apabila pengembangan budaya kerja berlawanan dengan apa yang dianut sebelumnya.
2. Aparatur
mempunyai wewenang dan tanggung jawab.
Wewenang dan
tanggungjawab kadang sering dikesampingkan karena sering tumpang tindihnya
tupoksi yang diberikan akhirnya terjadi tumpang tindih wewenang dan
tanggungjawab, hal ini disebabkan karena tidak adanya kejelasan serta ketegasan
dalam pemberian wewenang dan kebijakan, sehingga dapat terjadi satu tugas
dikerjakan oleh dua orang atau satu bidang dikerjakan oleh dua institusi. Oleh
karena itu untuk mempertajam budaya kerja aparatur yang baik, hendaknya
wewenang dan tanggungjawab harus diberikan atau dikerjakan dengan jelas, tegas
dan seimbang.
3.
Aparatur
memiliki keikhlasan dan kejujuran dalam bekerja
Jika
aparatur bersikap ikhlas dan jujur maka kepuasan masyarakat terhadap pelayanan
publik akan terpenuhi. Karena keikhlasan
dan kejujuran akan menumbuhkan kepercayaan dan kewibawaan pemerintah serta akan
tercapai indeks kepuasan publik. Hal tersebut diperkuat oleh KEPMENPAN Nomor 63
tahun 2003 tentang pedoman Umum penyelenggaraan Pelayanan Publik, bahwa indeks
kepuasan masyarakat adalah tingkat kepuasan masyarakat dalam memperoleh
pelayanan dari penyelenggara atau pemberi pelayanan sesuai dengan harapan dan
kebutuhan masyarakat.
4.
Aparatur
mempunyai integritas dan profesionalisme yang mumpuni
Dalam
realita empirik bahwa pola pikir
aparatur yang sudah terbentuk selama ini menunjukkan pada kecenderungan lebih
mengabaikan mekanisme pelayanan publik karena selain integritas yang rendah juga
tidak diimbangi oleh profesionalisme yang memadai. Oleh sebab itu maka aparatur
tidak konsisten terhadap kata dan
perbuatan, hal ini disebabkan tidak memiliki integritas yang tinggi. Begitupun
halnya jika profesionalisme yang dimiliki tidak sinkron dengan beban kerja yang
dihadapinya, sehingga bisa jadi seorang aparatur dengan kemampuan non teknis
mengerjakan pekerjaan teknis.. Padahal untuk mencapai budaya kerja yang baik
hendaknya aparatur memiliki keinginan untuk konsisten dalam kata dan perbuatan
serta ahli dalam bidangnya.
5.
Aparatur
harus kreativitas, mempunyai kepekaan serta keteladanan
Kreativitas
dan kepekaan akan melahirkan aparatur yang mampu kerja dinamis serta mendorong
kearah efesien dan efetifitas. Sebagai contoh aparatur harus mampu
mengejewantahkan pentingnya standar pelayanan publik, dengan demikian aparatur
akan mampu melakukan pelayanan publik sesuai dengan SOP (Standar Operasional
Prosedur) yang ditetapkan. Aparatur
akan mampu melakukan pekerjaan dengan waktu yang tepat, biaya pelayanan sesuai
dengan peraturan yang dibuat, produk pelayanan yang dikerjakan akan diterima
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, kompetensi petugas pemberian
layanan harus tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap dan
perilaku yang dibutuhkan. Seluruh point diatas tentunya perlu pemimpin yang
mampu memberikan bimbingan serta pengarahan sehingga aparatur mampu menjadi
bawahan ataupun atasan yang dapat memberikan keteladanan, dengan demikian
aparatur mampu mendayagunakan kemampuan potensi bawahan secara optimal.
6.
Ketepatan,
kecepatan, rasionalitas, dan kecerdasan emosi
Aparatur
harus mampu bekerja tepat dan cepat hal itu dimungkinkan dapat berpengaruh
terhadap pelayanan kepada masyarakat, usaha tersebut didukung dengan cara terus
menerus mengusahakan perubahan peran dengan cara optimalisasi standar pelayanan
dengan prinsip cepat, tepat, memuaskan, transparan dan non diskriminatif dengan
menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas, dan pertimbangan efesiensi. Sedangkan
untuk mengantisipasi perubahan dinamika masyarakat yang secara variatif dan
cepat maka aparatur harus mampu mengelola organisasinya agar lentur serta mudah
disesuaikan searah dengan dinamika masyarakat yang dilayani. Selain teruji
akuntabilitasnya, aparatur harus berfikir rasional dalam bertindak, terlebih
mengelola emosi menjadi energi yang fositif dalam membangun budaya aparatur
yang baik.
7.
Keteguhan,
ketegasan dan keteraturan kerja
Kunci pokok
ketiga aspek diatas adalah upaya bertindak disiplin dalam bertindak serta
bekerja, tidak mudah terpengaruh oleh para pihak yang merugikan dirinya sendiri
dan negara. Karena keteguhan dan ketegasan aparatur dalam menjalankan tugasnya
sangat mempengaruhi kinerja organisasi yang ditempatinya. Dengan adanya
keteguhan serta ketegasan dipastikan akan tercipta keteraturan kerja dan jika
keteratur kerja sudah dapat dicapai maka jalan oraganisai akan sesuai dengan
operasional prosedur yang telah dibuat dan disepakati.
8.
Dedikasi
dan loyalitas
Seorang
aparatur sudah disumpah untuk menjadi abdi negara yang siap menjadi insan yang
patuh dan taat terhadap panji-panji yang diamanatkan dan undang-undang,
Perpres, Peraturan daerah dan lain sebagainya, sehingga seorang aparatur harus
punya dedikasi yang tinggi serta loyal terhadap negara dan bangsanya. Untuk
membangun dedikasi serta loyalitas yang baik, seorang aparat wajib mempunyai
semangat dan motivasi atau yang didorong oleh keinginan memperbaiki keadaan
secara perorangan maupun organisasi , ketekunan dan kesabaran yaitu rasa yang
didasarkan kepada tanggungjawab terhadap tugas yang diamanatkan, dan keadilan
serta keterbukaan yaitu bertindak dan melayani masyarakat sesuai dengan
keinginan masyarakat.
9.
Menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi
Aparatur
harus mampu menyesuaikan kerjanya dengan perkembangan zaman yang semain maju,
sehingga penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah sangat mendesak
dilakukan. Karena penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir akan
mencerminkan profesioanal atau tidaknya seorang aparatur. Penguasaan iptek ini
harus melebihi penguasaan iptek yang dikuasai masyarakat sebagai objek yang
dilayani.
Penutup
Aparatur
adalah ujung tombak negara untuk pembangunan bangsa, sehingga
keberadaannya terus dibutuhkan jika
aparatur selalu melindungi, mengayomi serta menjadi motor penggerak pembangunan
negara. Ada beberapa kelemahan yang harus secepatnya dilakukan guna tercapainya
reformasi birokrasi yang konprehensif. Karena selama ini aparatur umumnya belum
mampu bekerja optimal, hal ini diakibatkan oleh berbagai kendala diantaranya
penyalahgunaan wewenang serta tanggungjawab dan pengaburan masalah serta
pengalihan beban. Adanya indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme. Adanya
indikasi status quo, empire bulding
(membina kerajaan), Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko yang diambil.
Ketidak pedulian terhadap kritik dan saran dari rakyat. Takut mengambil
keputusan, karena adanya indikasi kesalahan. Kurangnya kreativitas dan
eksperimen dalam pembangunan. Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang
imajinatif, dan misi yang mantap. Minimnya pengetahuan dan keterampilan.
Beberapa
hal yang menurut penulis harus dilakukan adalah pelaksanaan nilai-nilai dasar
budaya kerja aparatur negara yang terdiri dari :
1.
Aparatur
harus bersikap komitmen dan konsisten dalam bekerja
2. Aparatur harus mempunyai wewenang dan
tanggung jawab.
3.
Aparatur
memiliki keikhlasan dan kejujuran dalam bekerja
4.
Aparatur
mempunyai integritas dan profesionalisme yang mumpuni
5.
Aparatur
harus kreativitas, mempunyai kepekaan serta keteladanan
6.
Ketepatan,
kecepatan, rasionalitas, dan kecerdasan emosi
7.
Keteguhan,
ketegasan dan keteraturan kerja
8.
Dedikasi
dan loyalitas
9.
Menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi
Pustaka
Espejo,et.al
(1996), Organization Transpormational and Learning A Cybernetic Approach to
Management, McGraw Hill, New York.
Muliawati Lilis, Dra,MM (2009), Sinopsis :
Evaluasi Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan berbasis
Kompetensi
Suwartopo,Ir,MM(2009).Pendayagunaan
Aparatur Negara Menuju Good Governance,
Bandiklatda,Lampung.
Sopian
RM, SH,MM (2011), Upaya Widyaiswara Melahirkan Tenaga Aparatur
Handal,Bandiklatda,
Lampung
Sondang
P Siagian (2000),Kajian Patologi Birokrasi Pemerintah, Jakarta
Vonita,
(2010). Kecerdasan Moral, Aspek Pendidikan yang Hampir Terlupakan. Bandiklatda,
Lampung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar