Sei Wampu
{ Posted on 8:20 PM by Aiti }
Mendaki gunung atau lebih sering dikenal dengan ‘hiking’ kedengarannya memang kegiatan yang cukup ekstrim, apalagi bagi seorang cewek seperti saya, bermodal postur tubuh relatif kurus, stamina juga pas-pasan karena jarang sekali mengikuti kegiatan alam sebelumnya.
Lima tahun yang lalu sewaktu masih duduk di bangku sekolah SMA, ada ajakan dari salah seorang guru untuk hiking ke Gunung Sibayak. Entah kenapa, tidak terbayang sama sekali di benak akan bahaya dan besarnya resiko mendaki gunung, malahan yang tersirat dalam pikiran saat itu hanyalah rasa penasaran akan seberapa serunya tantangan yang bakal dihadapi dan kepuasan sewaktu berhasil menginjakkan kaki di puncaknya. Saat itu juga dan dengan begitu semangatnya, saya memutuskan HARUS dan WAJIB ikut.
Gunung Sibayak yang menjadi target pendakian perdana ini terletak di dataran tinggi Karo, Sumut, berlokasi tidak jauh dari kota wisata Berastagi. Dari 3 alternatif rute perjalanan yang ditawarkan, tim beranggotakan sekitar 30an orang memilih jalur resmi pendakian yang tercepat dan terdekat, yakni melalui jejak pendakian Desa Semangat Gunung, tepatnya di pemandian air panas yang cukup terkenal, Lau Sidebuk-debuk.
Menurut informasi, memakan waktu kurang lebih 3 jam untuk mencapai puncak gunung Sibayak yang memiliki ketinggian 2.094m dpl. Timbul inisiatif untuk mulai mendaki satu jam lebih awal, yakni sekitar pukul 01.00 dini hari. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi lama perjalanan yang mungkin bisa lebih panjang dari biasanya, mengingat banyak di antara kami yang masih pemula. Lagian, saya yakin tidak ada yang rela melewatkan momen saat matahari pagi mulai memancarkan sinar kehidupan di muka bumi dan seakan keluar dari persembunyiannya di ufuk sebelah timur.
Setelah berdoa agar senantiasa diberkati keselamatan, semua anggota mulai melangkahkan kaki dengan segala perlengkapan memenuhi tas ransel, termasuk minuman dan bekal makanan praktis. Sarung tangan dan jaket tak ketinggalan untuk mengantisipasi suhu pegunungan yang bisa mencapai 15 derajat celcius. Dan tak kalah pentingnya, persediaan cadangan baterai harus cukup, sebab kami hanya mengandalkan sinar senter untuk menerangi jalan setapak di tengah gelap gulitanya malam.
Awal pendakian masih boleh dibilang mudah. Hanya berjalan di aspal biasa. Jalan setapak yang ditemui juga masih sangat jelas. Tidak begitu banyak rintangan yang dilalui. Sempat juga berpapasan dengan beberapa rombongan pendaki lokal lainnya. Dalam hatiku bergumam, “Ehmm, rupanya ada juga ya segelintir manusia berjiwa seperti kita-kita ini, yang mau melewatkan indahnya malam minggu di alam terbuka. Haha..”.
Setelah satu jam perjalanan, saya mulai menemukan arti pendakian sesungguhnya. Makin ditempuh, jalurnya semakin menaik saja dan hal itu membuat kami terpaksa berjalan sedikit membungkuk meniru gaya ‘Pithecanthropus Erectus’. Belum lagi, tenggorokan mulai terasa kering akibat energi terkuras habis, dan parahnya lagi harus menghemat air minum. Capeknya pendakian membuat nafas pun terengah-engah seraya berjalan setapak. Beberapa di antara kami yang kurang terbiasa sering sekali meminta waktu untuk istirahat. Sampai-sampai, ketua kami berkata sambil bercanda, ”Ayo semangat donk, masa baru berjalan kurang dari 10 menit, sudah minta istirahat 5 menit. Kapan sampainya ini?”
Belum dari setengah perjalanan, ada yang sudah mengeluh kaki tidak kuat, bahu terasa pegal, keringat pun mulai bercucuran membasahi baju yang tadinya kering. Terus terang, saya juga merasakan hal yang sama seperti mereka, ditambah rasa ngantuk yang susah diajak kompromi lantaran hembusan angin gunung, membuat mata tersayup sayup. (terbayang kasur di rumah yang nyaman dan empuk)
Ketua tim mengingatkan untuk saling menjaga dan membantu. Di depan, jalan setapak yang lebih sempit dipinggiri jurang sedang menanti kedatangan para pendaki. Mulai jarang tampak tumbuhan atau pepohonan. Belum lagi tanah yang lumayan becek dan licin, karena bekas hujan kemarin, makin menuntut tingkat kewaspadaan yang tinggi. (habislah sneakers baruku). Akan banyak daerah berkerikil dan harus melewati batu-batu besar yang tak kompak. Oleh karena itu, tim diharapkan jangan sampai lengah dan tetap solid.
Satu jam terakhir, saya benar-benar merasakan kesulitan dan nyaris saja menyerah. Bagaimana tidak? Berawal semangat luar biasa, sekarang seakan tidak berdaya untuk berkomentar apa-apa. Perut sudah keroncongan, dahaga haus, kaki dan tenaga sudah dioperasikan bak mesin, tapi gak sampai-sampai juga. Ternyata bukan hanya sekedar kesiapan fisik, mental pun sekaligus diuji dalam melewati tantangan kali ini. Saya mengingatkan diri sendiri untuk tetap fokus dan berusaha tidak menyerah begitu saja pada keadaan.
Di tengah proses survival, tidak tahu maksud pertanyaan mengejek atau menyindir, tiba-tiba ada salah seorang guru bahasa inggris melemparkan pertanyaan padaku,”So, how is it? What do you think so far?”
Keluar dari mulutku jawaban seperti ini, “This is the FIRST and will be the LAST time I come and step my foot here.”
Dia hanya tertawa mendengar responsku tadi sambil membalas, “Dulu, reaksi saya juga sama seperti kamu, but now you see, I am back here for the third times.. So, let’s see how thing goes to you...”
Tidak ada energi lagi untuk merangsang saraf otak dan mencerna maksud dari kata-kata dia. Perjalanan dilanjutkan sebab tinggal sedikit lagi mencapai puncak. Akhirnya kami berhasil melewati semua rintangan dan tiba di puncak sekitar pukul 5 pagi. Sungguh lega rasanya! Sambil melepas lelah seusai mendaki, kami hanya duduk beralaskan batu. Dinginnya udara yang menusuk ke tulang tak tanggung-tanggung membuat gigi pun bergetar. Untungnya, ditemani api unggun yang sedikit banyak memberi uap kehangatan. Berada di puncak, beban dan kepenatan hidup seakan dititipkan sementara ke sudut lain. Selain bisa menikmati keindahan dan keheningan kota Medan dari kejauhan dengan lampu-lampu malamnya, jarak pemisah antara bumi dan langit seakan begitu pendek sebab bisa menyaksikan dengan jelas kerlapnya sinar ratusan bintang yang bertabur di angkasa. Terdengar alunan musik gitar dan nyanyian santai. Sungguh suasana alam yang berbeda!
Langit cukup bersahabat saat itu, tampak cerah diikuti panorama matahari yang siap menyemburkan sinar di sela-sela awan. Sekejap, tiba-tiba rasa lelah dan ngantuk yang sudah tertumpuk tadi berubah wujud menjadi kesan Takjub dan Kagum! Ini pengalaman pertama saya melihat sunrise yang begitu indah. “Kamera? Kamera mana?” sahut salah seorang teman.
Itu belum seberapa, setelah langit terang, tampak lagi atraksi alam lain berupa kawah gunung sibayak yang menawarkan pesona yang tak kalah uniknya. Dari atas, terlihat tulisan huruf atau goresan dari susunan batu-batu kecil di danau kawah seluas 200m x 200m yang airnya sudah mengering. Pantas saja daritadi malam, tercium hembusan angin belerang, rupanya di daerah tersebut terdapat solfatara penghasil belerang. Banyak anggota kami yang diliputi rasa ingin tahu bergegas mendekati dan turun ke kawah itu. Terdengar suara mesin juga, karena dijadikan lokasi pembangkit listrik dari uap panas bumi dan menghasilkan energi yang bersih lingkungan serta dipastikan bebas radioaktif. Ada pancuran air belerang di tanah yang suhunya melebihi 100 derajat celcius. Di daerah sekitar, dipenuhi batu-batu yang ukurannya BESAR sekali. Kami berlomba memanjat tinggi ke batu-batu besar yang menggumpalkan asap sulfur ke atas, untuk dijadikan objek atau latar foto yang keren.
Puas menikmati pemandangan alam yang di luar dugaan saya ini, saatnya perut minta jatah. Dengan modal kompor gas mini, terlihat antrian memasak air untuk menyeduh popmie dan kopi. Sambil makan dan mengobrol, kami saling bercerita soal suka duka pendakian dari awal hingga akhir. Eitts, jangan salah, ini belum berakhir lo, melainkan hanya setengahnya saja. Masih ada pendakian turun gunung. Yaah benar, perlu menyisakan cadangan energi untuk perjalanan pulang.
Masih ingatkah anda akan statement sebelumnya bahwa saya tidak akan pernah mau kembali ke gunung ini lagi? Hmm, dengan sedikit malu, terpaksa menelan ludah sendiri deh. Agak susah menjelaskan alasannya dengan kata-kata. Yang penting, ada sesuatu (misteri alam, barang kali) setelah pendakian pertama, yang membuat saya ingin melakukan pendakian yang kedua, ketiga dan seterusnya.
Setelah bergabung dengan The Green Family Adventures, ada tempat untuk menyalurkan hobi/ kesenangan seru ini dengan mengulang kembali petualangan ke Gunung Sibayak, Gunung Sinabung yang jauh-jauh lebih ekstrim dan juga berkesempatan mengikuti kegiatan-kegiatan bernuansa alam seperti menelusuri goa, rafting (berarung jeram di sungai), dan lain-lain.
Tetap Semangat!