Perikanan/Pertanian/Perkebunan

Cari Blog Ini

Sabtu, 12 November 2011

KETIMPANGAN MUTU PENDIDIKAN DAN SDM DI INDONESIA

 Sekolah di Papua ( foto :aristmundo.blogspot.com)
Indonesia merupakan negara yang jumlah penduduk  serta aset sumberdaya manusia yang sangat besar akan tetapi pemerintah belum berhasil dalam meningkatkan mutu sumberdaya manusia serta  pendidikan secara merata. Walaupun kenyataannya pemerintah telah menggelontorkan anggaran seperlima dari APBN , dan jumlah ini merupakan jumlah anggaran yang sangat besar, tapi masih belum mampu meningkatkan mutu pendidikan serta menciptakan angkatan kerja yang berkualitas. Ketimpangan mutu pendidikan di Indonesia, akan menimbulkan jurang pemisah, terutama untuk daerah-daerah kawasan timur Indonesia dan selama ini sepertinya pendidikan dan sumberdaya manusia yang cukup berkualitas hanya terpusat di dua pulau yaitu Jawa dan Sumatera dan sebagian Sulawesi, sedangkan di luar kedua pulau tersebut peningkatan mutu pendidikan serta SDM dan perbaikan ekonomi masih jauh dari harapan, ketimpangan ini juga terlihat dari pendapatan perkapita   penduduk, menurut data yang dirilis UNDP bahwa pendapatan rata-rata per kapita di Jawa dan Sumatera adalah 3000 US$,  sementara di luar kedua pulau itu adalah 1000 US$. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi dan kualitas SDM yang dimiliki dari angkatan kerja di Indonesia. Walaupun pendapatan perkapita tidak dapat dijadikan dasar untuk mengukur ketimpangan mutu SDM dan mutu pendidikan di Indonesia, tapi paling tidak mutu SDM dan pendidikan adalah salah satu tolok ukur kualitas angkatan kerja.  Angkatan kerja SD dan tidak tamat SD amat melimpah padahal demografi pendidikan yang dicanangkan dengan WAJAR 9 tahun merupakan produk angkatan kerja yang baik , tapi angkatan kerja  yang banyak dipekerjakan justru adalah SD dan tidak tamat SD. Walaupun sekolah kejuruan sudah diupayakan didirikan untuk menumbuhkan angkatan kerja berkualitas, selain itu pendidikan kejuruan D3 bermunculan dengan segenap keterampilan yang dimiliki, tetapi hal ini belum berhasil diserap untuk menumbuhkan angkatan kerja yang baik, justru tamatan pendidikan keterampilan masih banyak terjebak dalam kubangan pengangguran terpelajar.
Mutu manusia Indonesia tidak terlepas dari faktor pendidikan, dan pendidikan yang berkualitas harus ditopang oleh SDM pendidik yang mumpuni, celakanya pendidik yang berkualitas terutama tamatan dari lembaga /Universitas ternama enggan ditempatkan di daerah terpencil dan tersentral di perkotaan , dan kenyataannya pendidik di daerah terpencil hanya berpendidikan SMA itupun masih untung, ada saja yang mengajar hanya dibekali keberanian walaupun tidak tamat SMA. Selain itu mereka  hanya diupah uang lelah dari dana BOS maksimal sebesar  300.000 rupiah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana mutu pendidikan mau berkualitas kalau yang pengajarnya saja masih kembang kempis bertarung dengan kehidupan yang layak.  Sehingga pendidikan yang disampaikan asal-asalan, walaupun ada jadwal mengajar yang telah disusun akan tetapi aplikasinya masih acak-acakan. Malah cenderung ada unsur pembiaran dalam proses pembelajaran yang diberikan. Hal ini dapat  disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, ketimpangan ekonomi antar daerah, penghasilan yang tidak memadai, tempatnya jauh dan terpencil, serta sarana prasarana dalam proses belajar mengajar kurang mendukung. Selayaknya pendidik yang sudah dipekerjakan oleh pemerintah serta penempatannya tidak merata dan tidak mau ditempatkan di daerah terpencil di luar Jawa dan Sumatera, harus diupayakan agar pemerintah memberikan porsi lebih banyak dalam pengangkatan di daerah yang masih kurang tenaga pendidiknya. Hal itu diperparah dengan ketimpangan perlakuan antara Sekolah Negeri dan Sekolah Swasta, padahal keberadaan sekolah yang dikelola oleh lembaga atau yayasan  jumlahnya lebih banyak, dan disana terdapat tenaga kependidikan yang belum diperhatikan secara serius oleh lembaga atau yayasannya. Dan mereka cenderung diberi upah yang tidak layak dan terkesan asal-asalan, sehingga imbasnya kualitas peserta didik akan terabaikan.
Selain porsi tenaga kependidikan yang harus diperhatikan adalah bagaimana kepedulian pemerintah dalam menjaga aset SDM yang bermutu yang telah ada, jangan sampai sumberdaya yang baik dan berkualitas serta hasil susah payah negara dalam memberikan beasiswa kepadanya banyak dibajak oleh negara-negara yang sedang gencar meningkatkan sumberdaya manusianya. Kita  tak perlu menyalahkan mereka dan negara penampungnya, karena itu sudah pilihan hidupnya, dan mereka mencari dan mengharapkan penghargaan yang layak. Maka sudah saatnya pemerintah memberikan penghargaan yang layak bagi para guru, dosen dan peneliti kita walaupun terbentur anggaran yang tersedia tetapi hal ini harus diupayakan sekuat tenaga. Kalau negara mereka sanggup kenapa kita tidak. Dulu saja kita sanggup menjadi negara yang terkenal akan sumberdaya manusia yang berkualitas, tapi sekarang di era globalisasi serta disaat-saat persaingan bebas yang ketat antar negara kita nyaris terjerumus kedalam gulungan ombak keterbelakangan sumberdaya manusia.
Keterbelakangan mutu pendidikan juga tidak terlepas dari kebijakan kurikulum yang dirancang, kita telah terjebak oleh ketidak konsistenan dalam kebijakan kurikulum yang selalu berubah setiap berganti presiden dan menteri , sebut saja dari mulai sistem Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) sampai sekarang sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sudah berulang kali berubah-ubah, hal ini dapat berimbas terhadap keberhasilan mutu pendidikan di Indonesia. Karena kurikulum yang dibuat tidak dikaji sesuai jenjang waktu, proses pelaksanaannya dan evaluasi keberhasilan secara konprehensif. Kita tidak sadar bahwa keberhasilan mutu pendidikan dan sumberdaya manusia akan terlihat dengan rentan waktu yang cukup lama. Suatu hal yang kurang meyakinkan jika kita mengukur keberhasilan itu hanya dengan kurun waktu yang singkat. Untuk itu perubahan kurikulum perlu jeda waktu yang cukup lama serta perlu perencanaan (planing) yang jelas. Dan kenyataannya pendidikan yang digulirkan oleh pengambil kebijakan tidak mempunyai planing yang cukup jelas, antara strategi serta target yang ingin dicapai.
Dalam menghadapi tantangan global dan mengejar ketertinggalan kita dalam pengelolaan sistem pendidikan untuk menciptakan sumberdaya manusia yang handal, menurut saya perlu adanya kurikulum yang tepat dan akurat diantaranya menciptakan kurikulum gebrakan ( Soft Skill) diantaranya keterampilan, naluri peserta didik dalam berbahasa, berbudaya, nilai moral yang baik serta kewirausahaan dan lain-lain. Sebab selama ini kita selalu menerapkan pendidikan dengan kurikulum Hard skill, dimana peserta didik dituntut untuk mampu menghafal serta pandai secara akademik tanpa diimbangi oleh kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Padahal hard skill dapat menyumbangkan keberhasilan pendidikan sebesar 20 % saja sedangkan soft skill dapat menuyumbangkan keberhasilan pendidikan sampai 60 %.
Pembuat kebijakan hanya mengukur kecerdasan dari sejauh mana kemampuan peserta didik dalam menempuh ujian dengan nilai yang sudah distandarisasi dengan cara penyeragaman, tanpa melihat sejauh mana ketimpangan sumberdaya pendidik, serta sumberdaya manusia yang dimiliki oleh daerah tersebut. Hal yang perlu dicatat bila di Jakarta di target nilai standar 7,5  maka secara otomatis di daerah terpencil yang terbelakang dengan minim sarana dan prasarananya juga akan diberlakukan dengan  standar nilai rata-rata yang sama. Hal ini akan memicu keterpaksaan dari  lembaga pendidikan di daerah terbelakang tersebut untuk mengejar nilai yang telah ditetapkan dengan cara-cara yang tidak jujur. Dampaknya akan mengganggu psikologis dan perilaku pendidik dan peserta didik itu sendiri, sehingga kalau dibiarkan maka 25 tahun yang akan datang Indonesia akan menghasilkan sumberdaya manusia yang tidak percaya diri serta ketidak jujuran bukan barang yang aneh, dari buah sistem pendidikan yang kita terapkan saat ini.
Selain itu mutu pendidikan serta sumberdaya manusia hendaknya diupayakan agar setiap anak bangsa dapat menikmatinya secara merata tanpa pandang bulu, karena hakekatnya hak memperoleh pendidikan yang layak adalah hak warga negara seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Hal itu diperkuat oleh UU sistem pendidikan nasional Bab III pasal 4 ayat 1 yaitu pendidikan diselenggarakan secara demokratis  dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi  hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Sehingga sudah sewajarnya hak memperoleh pendidikan tidak tersentral di satu atau dua pulau semata. Selain itu hendaknya tidak ada lagi pengkotakan status sekolah serta peruntukannya. Saya melihat bahwa sekolah-sekolah bermutu cenderung dinikmati oleh orang-orang dari kalangan tertentu dikarenakan ada slogan bahwa pendidikan yang bagus adalah pendidikan yang biayanya mahal.  Masuk akal memang, tapi apakah tidak mendistorsi keinginan anak bangsa yang prestasinya bagus namun keterbatasan dana untuk menempuhnya.
Berangkat dari yang diutarakan saya diatas, pemerataan mendapatkan pendidikan adalah hal yang patut kita cermati, sehingga hal-hal yang akan mengakibatkan ketimpangan kualitas sumberdaya manusia yang muaranya ketertinggalan bangsa ini hendaknya menjadi buah pikiran seluruh elemen bangsa, sebab bukan tidak mungkin hal ini akan mengakibatkan kelemahan generasi kita dimasa yang akan datang.  Seorang ahli ekonomi dari Universitas Oxford berpendapat bahwa pada tahun 2050 Indonesia diprediksi akan menjadi negara super power di dunia. Menurut pendapat saya jika penangganan sumberdaya manusia dengan  memperhatikan pengelolaan pendidikan yang baik maka pada tahun 2025 Indonesia akan menjadi negara super power. Hal itu kita perlu bercermin terhadap keberhasilan Singapura dalam mengelola sumberdaya yang baik, kalau kita hitung dari mulai tahun 1965, berarti dalam jangka waktu 45 tahun mereka berhasil membangun sistem pendidikan dan SDMnya  dan menjelma menjadi raksasa ekonomi di Asia Tenggara bahkan di dunia. Saya berasumsi kalau Singapura yang minim sumberdaya alam dan luasnya hanya sepelemparan batu saja dibanding Indonesia sanggup  seperti itu, kenapa Indonesia yang luasnya jutaan kilometer persegi dengan sumberdaya alam yang melimpah dan jumlah penduduk yang banyak tak mampu melampauinya.
Kita menyadari pekerjaan ini adalah bukan pekerjaan yang mudah, disamping kita mempunyai wilayah yang sangat luas serta jangkauan antar daerah juga cukup sulit karena dikelilingi oleh lautan serta infrastruktur yang belum maksimal. Dan yang lebih rumit lagi kita dihadapkan terhadap SDM yang multi etnik. Akan tetapi semua itu tidak menjadi sebuah alasan sebab dengan teknologi informasi yang semakin pesat bukan suatu hal yang mustahil kita dapat berkomunikasi dengan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Dan keragamanan etnik itu paling tidak dapat diantisipasi dengan pendidikan yang tidak mengenyampingkan kearifan lokal dalam kurikulumnya dan keragaman etnik justru akan menjadi modal dan kekuatan bangsa ini untuk menjadi bangsa yang besar. Suatu hal yang cukup cerdas jika dari awal pendidikan dasar dan menengah sampai pendidikan tinggi, peserta didik diarahkan kepada sejauh mana minat serta bakat mereka sendiri. Sehingga kedepan kita tidak kesulitan untuk mendapatkan teknokrat yang unggul, atlet yang disegani di dunia, negarawan yang menjadi panutan, seniman yang menjadi inspirator dan lain-lain. Selama ini peserta didik dipaksa untuk menekuni berbagai bidang ilmu dan akhirna peserta didik hanya mampu mendapatkan satu lembar ijazah tanpa ahli dalam satu bidangpun.
Untuk mencapai yang dicita-citakan bangsa ini yaitu menuju bangsa yang adil dan makmur tentunya perlu langkah-langkah yang tepat dalam pembangunan SDM utamanya pendidikan yang merata terhadap seluruh anak bangsa. Hal itu termaktub dalam visi dan misi pendidikan Nasional diantaranya, mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia,mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka  mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik  agar menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara  yang demokratis dan bertanggung jawab ( lembar tambahan UU Sisdiknas , hal 72-73).
    Perhatian serta kepedulian pemerintah terhadap pembangunan pendidikan dan sumberdaya manusia hendaknya memberikan ruang yang luas untuk segenap elemen bangsa dalam mendapatkan pendidikan yang layak dan bermartabat.  Dengan demikian ketimpangan pendidikan di Indonesia tidak terus menerus terjadi, dan jika penangganan SDM serta mutu pendidikan dapat dilakukan secara merata dan berkesinambungan maka tidak akan ada lagi kata iri hati dari sebagian elemen bangsa, atau merasa dianaktirikan dalam berbangsa dan bernegara, serta tidak merasa dilibatkan dalam pembangunan bangsa  yang dampaknya akan mengarah kepada disintegrasi bangsa.




Rabu, 09 November 2011

MENUMBUHKAN RASA KEPAHLAWANAN


Foto by Ticho Zone http://www.google.co.id/imgres?q=Bung+Tomo

Sangatlah mudah, ketika kita mengungkapkan kata “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai Jasa Para pahlawannya”, tapi kalau kita mendalami makna kalimat tersebut sangatlah dalam, sebab menghormati jasa para pahlawan bukan sekedar slogan atau acara seremoni yang digelar sepanjang tahun. Kita cenderung mengagungkan kata pahlawan tanpa menghargai perjuangan yang mereka perjuangkan. Bung Tomo menegaskan dalam pidatonya bahwa semangat perjuangan yang diberikan oleh para pemuda kala itu adalah semangat untuk melenyapkan penjajahan di bumi Surabaya khususnya dan umumnya NKRI. Bung Tomo mampu membakar semangat  heroik bagi kaum pemuda kala itu. Selepas membakar semangat pemuda seantero nusantara Bung Tomo tidak lantas berdiam diri tapi langsung memimpin pasukan tanpa pantang menyerah, hal ini yang dicontohkan oleh Bung tomo, bahwa seorang pemimpin mampu menjadi suri tauladan terhadap semua orang. Bung Tomo dan para kaum muda kala itu hanya satu tekad melenyapkan penjajahan di bumi pertiwi. Dalam salah satu pesan dalam pidatonya kala itu, Bung Tomo berujar, bahwa kemerdekaan adalah harga mati, dan perjuangan kita adalah perjuangan yang diridhoi oleh Allah, “biar darah ini mengalir dan jiwa melayang, tapi perjuangan kita semua akan dikenang sepanjang masa”, bukan hanya satu angan-angan dari bung Tomo dan pemuda kala itu tapi yang terpenting adalah biar nyawa melayang tapi anak cucu senang di masa yang akan datang.
Hampir puluhan tahun sudah perjuangan yang heroik itu berbekas dalam ingatan bangsa, dan perjuangan itu telah kita nikmati dengan berbagai kebebasan berbangsa dan bernegara, serta keamanan beribadah, mencari nafkah, serta 1001 macam kebebasan lainnya  yang kita kecap. Tapi pertanyaan yang muncul sudahkan kita menghargai segala jasa-jasa mereka yang telah berhasil membebaskan bangsa ini dari belengu penjajahan. Kenyataannya adalah kita belum mampu mengakselerasi tujuan dari para pahlawan kala itu, kita cenderung mendogma bahwa kebebasan yang kita raih adalah semata-mata karena takdir dari Allah tanpa diimbangi oleh rasa syukur yang disertai dengan kerja keras melawan penjajahan laten yang kita alami saat ini. Kita belum mampu menghargai jasa para pahlawan itu dengan usaha kita untuk mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang besar yang disegani oleh-bangsa-bangsa lain di dunia. Kita masih berkutat pada tataran bangsa yang hanya mampu menghargai jasa para pahlawannya dengan upacara-upacara umum untuk mengenang tanpa berbuat banyak untuk kepentingan bangsa. Saya tidak anti terhadap pelaksanaan upacara-upacara itu, tapi sebaiknya segala upacara – upacara yang dilaksanakan tersebut, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana mau menghayati makna upacara kalau lagu bagimu negeri saja lupa syairnya, bagaimana mau menghayati kalau ketika penghormtan kepada sang merah putih saja tangannya naik turun, sikapnya tidak sempurna. Sungguh dari hal yang sepele itu saja kita dapat menilai, sejauhmana bangsa ini menghargai jasa pahlawannya.
Kalau kita bertanya kepada siswa SD, SMP, atau SMA sekalipun, berapa persen yang hafal nyanyian  lagu wajib nasional, saya sempat prihatin ketika seorang publik pigur dalam salah satu tayangan di televisi tidak sanggup menyanyikan lagu wajib nasional, tetapi ketika ditanya lagu Ayu Tingting hafal 100 persen. Walaupun hal itu bukan ukuran kecintaan kita terhadap tanah air, tapi paling tidak itu adalah sebuah cerminan suatu bangsa dalam menghargai jasa pahlawannya. Saya tidak begitu heran jika orang yang ditanya itu adalah orang yang jauh dari pedalaman dan bukan kaum terpelajar.
Saya membayangkan kalau nyanyian wajib nasional saja tidak hafal, bagaimana kalau ditanya tentang nama pahlawan dan cerita perjuangannya, apalagi mau tau terhadap nasib para veteran perang yang dimasa tuanya kesepian dan tak ada yang mengiraukan apalagi menghargai perjuangannya.
Terlepas dari semua itu kita sebagai anak bangsa tak perlu menyalahkan siapa-siapa terhadap kondisi bangsa saat ini. Tapi yang perlu kita tanamkan saat ini adalah menumbuhkan jiwa kepahlawanan itu dalam diri kita masing-masing seperti yang dikobarkan bung Tomo kala itu. Kita sebagai anak bangsa wajib turut serta meneruskan cita-cita para pahlawan tersebut dengan cara bekerja keras dalam menghadapi berbagai ancaman bahaya laten yang nyata diantaranya penjajahan ekonomi, penjajahan akhlak lewat media, penjajahan korupsi dan lain-lain yang justru tantangannya lebih berat dari penjajahan kolonial saat sebelum kemerdekaan.  Peristiwa penjajahan tersebut jangan sampai terulang kembali saat ini,  dan semua itu kita harus terus berkaca terhadap perjuangan pahlawan serta terhadap sejarah yang telah terukir. Bung Karno telah mengamanatkan kepada kita, bahwa sebagai bangsa kita jangan lupa “Jas merah”.  Dan perjuangan yang akan kita hadapi  itu perlu perjuangan yang bercermin dari semangat para pahlawan ketika akan merebut kemerdekaan. Tidak ada kata pesimistis, tapi kita harus optimis bahwa bangsa ini dapat sejajar, bahkan lebih besar dari negara-negara lain di belahan dunia manapun.

PENGEMBANGAN TANAMAN KARET YANG KOMPETITIF DAN BERKESINABUNGAN

(Dari catatan seminar nasional “Pengembangan Sub Sektor Perkebunan Tanaman Karet”)

        Peningkatan daya saing perkebunan karet di pasar dunia merupakan hal yang harus terus diperjuangkan  karena selama ini karet Indonesia merupakan karet yang mempunyai kualitas yang kurang membanggakan di pasar internasional, walaupun dari segi produksi negara kita merupakan negara yang  mempunyai produksi karet serta luas areal tanaman karet cukup membanggakan, demikian  dikatakan Dr. Ir. Dedy Saleh (Dirjen Perdagangan luar negeri Kemendag RI) beberapa waktu yang lalu dalam seminar nasional  yang diadakan oleh IKAPERTA Program Studi Agribisnis UNSRI  bekerjasama dengan Managing Higrer Education For Relevance and Efficiency (I-MHERE) di Aula Bina Praja Propinsi Sumatera Selatan beberapa waktu yang lalu (31/10/11).

       Dalam sebuah seminar yang bertajuk Pengembangan Sub Sektor Perkebunan Tanaman Karet yang kompetitif dan berkesinambungan itu banyak hal yang perlu dicermati atau paling tidak kita ketahui bersama, yaitu dari semua pembicaraan  pemakalah kita dapat mengambil pelajaran bahwa ternyata masih banyak pekerjaan rumah pemerintah dalam memelihara kesinambungan perkebunan tanaman karet dan pemerintah dituntut  mampu mengerakkan stakeholder yang bersentuhan langsung dengan perkaretan di Indonesia agar karet Indonesia bukan saja  unggul dalam kuantitas, tapi unggul juga dalam kualitas.
      Dirjen Perdagangan yang juga alumni FP-UNSRI itu berpendapat bahwa perlu adanya antisipasi dalam menghadapi dampak krisis Eropa dan USA terhadap industri dan perdagangan karet di Indonesia, kekhawatiran ini dibuktikan dengan adanya  proyeksi pertumbuhan  ekonomi yang lamban di negara –negara Eropa dan USA saat ini. Walaupun hal itu dapat diantisipasi dengan adanya negara Emerging Market. Terbukti  selama Januari - Agustus 2011 pertumbuhan nilai eksport ke beberapa negara emerging market tumbuh pesat, diantaranya Afrika Selatan (93,3%), Iran (71,9 %), Rusia (61,1 %), dan Mesir (53,6%).
Walaupun kenyataannya kinerja eksport Indonesia secara kumulatif  selama Januari-Agustus 2011  mencapai US$ 134,8 miliar, meningkat 36,6% dibanding periode yang sama tahun lalu. Peningkatan eksport tersebut didorong oleh naiknya eksport non migas sebesar 31,4 % menjadi US$ 107,4 miliar. 

        Eksport  10 produk utama mengalami peningkatan kecuali  kakao, hal ini diakibatkan oleh eksport biji kakao menurun yaitu sebesar 46,7 %, sedangkan eksport kakao olahan mengalami peningkatan sebesar 93,8 %, hal itu sangat menggembirakan karena salah satu program pemerintah  dalam mendorong industri hilir terwujud. Kenaikan eksport 10 komoditi utama itu selain tekstil , yang mempunyai volume yang sangat besar serta diikuti oleh ekport  sawit, elektronik, dan karet diurutan keempat, serta diikuti oleh industri manufaktur yang lain, diantaranya produk hasil hutan, alas kaki, otomotif, kakao, udang dan kopi.  Dengan demikian untuk meningkatkan nilai tambah maka produksi karet harus bercermin pada keberhasilan produk kakao dan sawit. Sebab dengan adanya diversifikasi hasil kakao serta  kebijakan eksport CPO, berhasil meningkatkan nilai tambah serta mendorong penguatan eksport produk jadi.
      Karet di Indonesia merupakan komoditas eksport andalan perkebunan kedua setelah CPO, dan Indonesia merupakan negara penghasil dan pengekport karet alam urutan ke 2 setelah Thailand. Estimasi produksi karet di Indonesia pada tahun 2011 adalah 2,64 juta ton dengan luas lahan 3,45 juta hektar (Ditjenbun 2011). Sedangkan kontribusi eksport karet dan produk karet terhadap ekport non migas pada periode Januari-Agustus 2011 sebesar 9,51 %, dengan demikian menurut Dedy karet diharapkan menjadi penggerak roda pembangunan ekonomi melalui peningkatan mutu yang akan meningkatkan eksport.
      Sementara itu   Muhammad Supriadi ( dari pusat penelitian karet Sumsel) mengungkapkan bahwa jumlah uang beredar di Sumatera Selatan tahun 2010 saja tercatat Rp. 22,5 – 30 triliun/tahun atau 75-100 milyar/hari dari penjualan karet 750 ribu ton karet kering, hal ini perlu adanya penangganan khusus bagi industri karet di Indonesia.  Karena selama ini produksi karet terbesar dihasilkan oleh perkebunan rakyat, dan  produksi yang dihasilkan belum memuaskan, disebabkan dari mulai tatacara penyadapan sampai penangganan produksi karet mentah belum kompetitif di pasar dunia. Dalam rangka  meningkatkan daya saing perkebunan karet tersebut perlu dilakukan beberapa hal diantaranya   penerapan teknologi menuju usaha perkebunan yang berkelanjutan dengan upaya meningkatkan daya saing dan kesinambungan perkebunan melalui peningkatan produktivitas kebun dan efesiensi usaha, serta pencegahan kehilangan hasil, hal itu dapat diwujudkan melalui adopsi klon unggul dan rekomendasi teknologi, perbaikan teknis budidaya dan sistem manajemen, pengendalian penyakit dan gangguan hujan, percepatan program peremajaan, pengembangan karet pada lahan non-tradisional dan pengembangan diversifikasi produk dan industri hilir karet. Walaupun belum optimal hal itu telah dilakukan oleh pemerintah diantaranya usaha-usaha peningkatan produktivitas, penyediaan bibit unggul dan pengelolaan yang baik (Good Agricultural Practices).
     Dengan demikian, untuk peningkatan daya saing perkebunan karet melalui penerapan teknologi menuju usaha yang berkelanjutan menurut Prof.DR.Ir. Zulkifli Alamsyah,M.Sc (FP. UNJA) perlu langkah-langkah yang ditempuh, diantaranya :
1. Membangun kemitraan dalam pemasaran bokar harus didasarkan atas kebutuhan dan kesepakatan antara petani dan industri crumb rubber.
2. Kemitraan yang dibangun dari pihak petani akan lebih efektif bila melalui kelembagaan petani (kelompok tani)
3. Kemitraan yang dibangun sebaiknya memiliki legalitas dalam bentuk MoU antara kedua pihak dan disaksikan oleh instansi terkait.
4. Harus ada komitmen yang kuat oleh kedua belah pihak, terutama dari pihak petani sehingga tidak tergoda oleh trik-trik persaingan bisnis yang tidak sehat.



Minggu, 06 November 2011

NILAI ISLAM DAN BENTUK KESALEHAN SOSIAL

Manasik  (Foto Ilustrasi)

Memberi apa yang kita punya  walau sedikit barangkali semua orang mampu walaupun agak terpaksa. Tetapi yang luar biasa adalah ketika kita memberi terhadap orang lain akan tetapi yang diberikan itu sangat berat untuk melepaskannya. Hal itu dapat kita pelajari dari perjalanan hidup Rasul Allah Ibrahim AS, cerita yang tidak hanya dijadikan cermin oleh umat manusia, juga menggambarkan betapa sebuah kisah yang menjadi  legenda yang tak lekang oleh zaman. Cerita  yang bukanlah dongeng biasa , dan selalu diperingati hingga kini dan sampai nanti akhir zaman. Umat Islam memperingati secara simbolik berupa penyembelihan hewan kurban, hal itu dalam rangka memperingati peristiwa keagungan akhlak seorang nabi yang dicontohkan  kepada umatnya. Bagaimana tidak,  sebagai orang tua begitu relanya beliau korbankan semata-mata karena  perintah Allah. Walaupun dalam hatinya berat, akan tetapi dengan keyakinannya Ibrahim dengan ikhlas  dan penyerahan total , Tauhid al Ibadah serta berikrar akan mengerjakan perintah Allah tersebut. Walaupun belakangan  Allah gantikan nyawa Ismail dengan Penyembelihan Agung, sebagai pengakuan atas kepatuhan Ibrahim kepada Allah.
Peringatan peristiwa itu merupakan kegiatan sakral yang menyatukan kalbu manusia dengan  Allah yang diritualkan oleh penyembelihan hewan Qurban. Pengorbanan yang tidak sebanding dengan apa yang dilakukan oleh Nabi ibrahim AS dalam Qalbunya kala itu, tapi penyembelihan itu dapat dijadikan tolok ukur rasa pengejewantahan Qalbu kita terhadap rasa keinginan untuk mendekatkan  nurani kita terhadap sang Kholiq serta rasa berbagi antar sesama.  Sebab hakekatnya penyembelihan hewan qurban itu adalah sebagai perwujudan perintah Allah serta rasa keinginan kita untuk membangun kedekatan kita terhadap kaum muslim yang lain.
Semangat qurban merupakan inti ibadah sebagai perwujudan dari rukun Islam yang kelima, harus direfleksikan dalam bentuk kegiatan yang hakiki. Sebab hakekatnya kita sebagai manusia tak cukup  hanya mempunyai semangat ritual individual, tapi yang lebih perlu diupayakan adalah bagaimana kita dapat membangun paradigma baru dalam sendi-sendi keislaman serta mampu membangun struktur kesalehan  sosial yang kokoh.
Dalam sebuah tulisannya DR Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Jakarta) mengatakan bahwa dalam semangat dan semarak dakwah serta ritual keagamaan di Indonesia tak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru dipraktikan adalah yang dianut oleh negara-negara sekuler.   Selanjutnya Komaruddin, merujuk dari seorang peneliti  dari The George  Washington University yakni Scheherazade S Rehman yang dipublikasikan dalam Global Economy Journal ( Berkeley Electronic Press, 2010) menilai  bahwa dari 56 negara anggota OKI (Organisasi Kerjasama Islam) yang memperoleh nilai tertinggi adalah Malaysia (ke-38), Kuwait (ke-48), dan rata-rata negara OKI masuk di urutan 139 serta sisanya termasuk  Indonesia berada di urutan ke 140  dunia dari 208 negara yang paling Islami. Dapat  dibayangkan dari 140 negara itu yang paling Islami adalah negara Selandia Baru diikuti diurutan kedua adalah Luksemburg dan sebagaimana kita ketahui negara itu tidak dihuni oleh mayoritas penganut Islam. Dalam penelitiannya tersebut  Rehman mengukur dari aspek seberapa jauh  ajaran Islam itu membentuk kesalehan sosial berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Seandainya saja yang dijadikan indikator dalam penelitian itu adalah aspek ritual-individual saja, saya yakin Indonesia di urutan pertama. Bagaimana tidak, perkembangan masyarakat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji setiap tahun meningkat. Bahkan sampai berbentuk list daftar tunggu pemberangkatan, jika kita setor haji tahun 2011 ini berarti kita akan menunggu sampai 2017 atau bisa jadi  tahun 2020, baru dapat berangkat haji. Sesuatu yang musykil terjadi di negara-negara penganut Islam yang lainnya. Hal itu menandakan betapa antusias dan sangat besar keinginan umat Islam kita dalam menunaikan ibadah haji, selain itu setiap ramadhan bagaimana penuhnya masjid-masjid  di Indonesia terutama saat melaksanakan ibadah shalat Ied, umat Islam  tumpah ruah sampai ke jalan-jalan protokol. Setiap parpol, ormas, para pejabat ketika ada acara amal dan bakti sosial  terlebih saat kampanye terus bermunculan, bank-bank Islam bermunculan menerapkan ekonomi syari’ah.  Akan tetapi kita lupa bahwa perilaku sosial di Indonesia sangat jauh dari ajaran Islam dibuktikan dengan maraknya korupsi, sistem ekonomi dengan bunga tinggi, kekayaan tidak merata, persamaan hak  mendapatkan pelayanan bagi semua warga negara dan hak untuk memperoleh pendidikan yang layak sehingga mampu berkembang, serta banyak aset-aset sosial yang ada banyak mubazir. Ternyata benar apa yang diutarakan Lehman, bahwa apa yang dikecam ajaran Islam itu ternyata sangat mudah ditemukan di negara-negara muslim ketimbang negara-negara barat. Saya kurang paham betul apakah kesalahan ini terletak pada perilaku masyarakat atau pada sistem pemerintahannya. Yang jelas dari hasil temuan Lehman bahwa perilaku sosial, ekonomi, budaya dan politik di negara-negara mayoritas muslim justru berjarak lebih jauh dari ajaran Islam dibandingkan dengan negara non muslim. Saya berasumsi cepat atau lambat bila hal ini terus terjadi maka negara-negara non muslim berperilaku lebih Islami dibanding penganutnya.
Saya tertarik oleh tulisan Syafiq Basri Assegaf dalam tulisannya beliau mengisahkan ada dua malaikat bercakap-cakap di dekat ka’bah di Masjidil Haram :
-          Berapa jumlah orang yang naik haji tahun ini ?
-          Enam ratus ribu.
-          Berapa yang diterima hajinya ?
-          Hanya dua orang, salah satunya bahkan tidak menunaikan hajinya kesini.
Kisah yang bernuansa sufi itu dinisbatkan kepada ulama Abdullah bin Mubarak dalam mimpinya . Dalam mimpi itu malaikat berkata bahwa satu orang yang tidak pergi dan  diterima hajinya adalah Ali bin Al –Mufiq, orang  Damaskus.  Dan ternyata Al-Mufiq adalah seorang tukang semir sepatu yang menyerahkan 3000 dinar hasil tabungannya   untuk bekal haji kepada tetangga dan memberi makan anak-anak yang sudah tiga hari kelaparan.
                Dari kisah itu setidaknya kita dapat mengambil hikmah betapa besar pahala bagi orang-orang yang memberi santunan dengan hasil jerih payahnya sendiri tanpa mengharap imbalan. Selama ini kita terobsesi bahwa rukun Islam yang kelima harus diwujudkan dengan menunaikan ibadah haji secara nyata, sehingga mengecilkan orang yang berkeinginan untuk menunaikannya akan tetapi tidak mampu secara finansial.  Kisah ini memberikan keteladanan dalam perilaku kesalehan sosial  berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.  Nabi Muhammad sendiri mengajarkan menyantuni janda tua dan orang miskin pahalanya setara dengan orang yang terus menerus shalat malam dan terus menerus puasa. Demikian pula mencari ilmu satu hari lebih utama nilainya dibandingkan dengan puasa tiga bulan. Sebaliknya tidaklah beriman seseorang yang tidur kenyang sementara tetangganya  kelaparan. Menunaikan ibadah haji mempunyai pahala yang besar disisi Allah tapi akan lebih besar lagi  manakala sepulangnya dari haji menjadi haji yang mambrur tanpa mengulangi perbuatan yang tercela. Jangan sampai dari jamaah haji yang berjumlah 2 juta orang kita tidak termasuk kedalam dua orang yang diceritakan oleh Assegaf diatas.
                Satu contoh diatas menggambarkan betapa nilai-nilai keislaman belum begitu diaplikasikan oleh umat muslim secara sempurna, kita cenderung beribadah hanya sekedar ritual individual, yang berbentuk pelepasan dari rasa tanggungjawab terhadap Alloh dengan tidak diimbangi oleh sikap, perilaku, tutur kata serta keperdulian terhadap sesama manusia selepas melaksanakan ibadah itu sendiri. Tidak perlu jauh kita ambil contoh bagaimana kebiasaan kita mengantre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong serta nilai-nilai Islami lainnya yang justru sangat sulit kita jumpai akhir-akhir ini. Muhammad Abduh seorang ulama besar pernah berujar  saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang muslim banyak saya temukan di dunia Arab. Bisa jadi juga kita berujar senada.

Rabu, 02 November 2011

BALAP SEPEDA ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

Di Volodrom : Foto repro Fuji Film

Sebagai seorang yang menyukai serta mantan atlet spesialis road race balap sepeda saya tertegun membaca tulisan di media dengan judul “Kayuhan Nan Minim Taktik dan Strategi” (Kompas 21/10) . Saya tersenyum sumir, sebab pernyataan klasik selalu itu-itu saja yang diungkap, padahal sudah puluhan tahun federasi (baca : ISSI) didirikan. Tak sedikit yang berkomentar bahkan tak ketinggalan seorang pembalap dari Terangganu Cycling Team bernama Shinichi Fukushima (Jepang) berujar bahwa para pembalap Indonesia memiliki potensi bagus.

Kendala ini selalu muncul disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, para pembalap kita minim peralatan, terutama keberadaan sepeda yang dimiliki di tingkat amatir  tidak standar karena faktor biaya untuk membeli peralatan, padahal  hakekatnya atlet nasional lahir dari keberadaan atlet amatir. Saya perhatikan setiap atlet harus bergerak dari nol, sebab kebanyakan atlet balap sepeda tumbuh dari golongan menengah ke bawah, walaupun sejak dulu penggemar sepeda rata-rata orang menengah atas. Tapi yang menjadi atlet sungguhan tumbuh karena dorongan sesama pembalap yang sifatnya hanya semata simpatisan terhadap balap sepeda, diantaranya WNI keturunan Cina. Saya teringat kawan saya yang waktu itu jago tanjakan, ingin memiliki tuplit saja, ngutang sama ko’  yong seorang pengusaha  Indochina, saya belum melihat kepedulian PB ISSI di kota itu walaupun kami sudah berbentuk sebuah klub.

Masalah kedua adalah atlet kita minim mengikuti kompetisi, dan memang sampai sekarang hanya beberapa event besar diselenggarakan  di Indonesia diantaranya Tour d’ Indonesia, Tour d Java dan Tour d’ Singkarak yang masuk ke agenda federasi balap sepeda Internasional (UCI). Padahal sejatinya PB ISSI atau Pengda ISSI yang ada di daerah harus rutin mengadakan perlombaan, sejauh ini hanya beberapa daerah yang mengadakan event balap sepeda itupun belum rutin dilaksanakan secara intensif, sebut saja Tour d’ Pangandaran, Tour d’ Tangkuban Parahu, Tour d’ Jabar, Tour d’ Sidoarjo, Tour d’ Bali, semua itu hanya diikuti oleh beberapa Pengda dan Pengcab tertentu  dan tidak mengikutkan atlet-atlet junior yang berpotensi mengukir prestasi. Dan anehnya ketika ada kejuaran-kejuaraan nasional hanya itu-itu saja yang menjadi juara, sebagai contoh hanya beberapa nama legenda dalam dunia balap sepeda Indonesia diantaranya Yusuf Kibar, Puspita Mustika, Kalimanto,Nurhayati, dan setelah itu generasi penerusnya kurang berkibar di pentas balap sepeda Asia  Tenggara sekalipun, walaupun tidak dipungkiri ada nama-nama seperti Tonton Susanto, Bambang Supriadi yang mengukir prestasi walaupun tidak melegenda. Hal itu disebabkan kurang pembinaan terhadap atlet-atlet daerah yang berpotensi juara dan mengikutkannya pada kejuaraan yang bergengsi. Seingat saya belum ada pembalap indonesia yang mengikuti Tour d’ Alpen atau Tour d’ Franc, entah apa kendalanya yang jelas ajang itu dapat dijadikan pelajaran yang berharga bagi pembinaan balap sepeda di Indonesia. Walaupun di atas kertas kita tidak akan dapat menjuarai kejuaraan seakbar itu, kita finish di urutan 150 saja sudah beruntung, tapi apa salahnya bila diikuti sebagai pembelajaran. Kalau terkait dana, kenapa kita dapat mengirimkan pertandingan sepakbola ke luar negeri dengan jumlah orang yang banyak, sedangkan mengirimkan lima orang pembalap ditambah 1 orang pelatih dan official saja tidak mampu.

Masalah ketiga, pembalap Indonesia minim pelatih yang profesional yang mampu mendorong atlet agar tetap berprestasi dan dapat menyuntikkan berbagai strategi jitu dalam mengikuti perlombaan. Pembalap Indonesia selalu kelihatan jumawa terlebih bertanding di daerahnya sendiri, ketika start pertama selalu berupaya tetap ada di barisan terdepan sampai melepaskan diri dari rombongan besar tanpa mengukur kemampuan olah napas dan kayuhan, sehingga pada akhirnya stamina terkuras. Kita dapat berkaca pada perlombaan balap sepeda Tour d’ Indonesia beberapa waktu yang  lalu tepatnya tanggal 6 Oktober  2011 di etape V antara Semarang dan Tawamangu. Saat itu pembalap kita Maruli Pajar Mulia  dari Custom Cycling Club (CCC), melaju dan melepaskan diri di 10 km selepas start, sungguh mengejutkan Maruli berhasil  memimpin sampai 110 km hingga Karanganyar, tetapi ketika 30 km menjelang finish pembalap asal  Solo ini  drop serta tertinggal jauh dari pembalap yang punya strategi jitu , dan para pembalap yang tadinya berombongan berebut menyusul terutama pembalap spesialis tanjakan dan mereka berhasil tiba di garis terdepan  mendahului Maruli. Manager CCC, M Irham juga menyayangkan tindakan Maruli, dan dia tidak menginginkan tindakan serangan awal-awal kilometer (Kompas,21/10). Hal ini yang membuat kita semua  kecewa padahal kenapa tidak dari awal manager atau pelatihnya memperingatkan jangan sampai hal itu terjadi terhadap Maruli. Saya kurang tahu apakah pelatihnya tidak profesional atau pemainnya yang jumawa. Yang jelas kedua-duanya ada hubungan sebab akibat.

Yang ketiga atlet Indonesia terutama di tingkat junior dan amatir kurang bimbingan teknis yang memadai, mereka dibiarkan berlatih atas kemauannya sendiri dengan biaya sendiri tanpa didampingi seorang pelatih atau mentor yang selalu setia mendampinginya. Mereka cenderung berlatih tanpa perhitungan sehingga dapat menyebabkan kelelahan fisik dan pemborosan waktu yang tidak menghasilkan perbaikan pada kualitas dan mutu pembalap. Pembalap cenderung berlatih tidak teratur dan tanpa tujuan yang jelas terlebih membuat perencanaan, skala prioritas, pencapaian akhir dan evaluasi dalam berlatih. Hal ini yang menyebabkan pembalap kita buta terhadap strategi yang dimiliki. Salah satu jalan yang perlu di tempuh oleh federasi adalah menyediakan pelatih yang mumpuni bagi setiap daerah, terlebih atlet pelatnas.

Hal keempat adalah fasilitas arena balap, saya belum melihat veledroom yang dibangun di setiap daerah. Untuk memberikan keleluasaan kepada pembalap dalam berlatih. Selama ini hanya ada di veledrom Rawamangun yang fasilitasnya memadai, itupun disediakan untuk atlet-atlet pelatnas. Begitu pula untuk atlet Road race, kita belum menyediakan jalan khusus berlatih bagi para pembalap di setiap daerah. Selama ini para pembalap selalu berlatih di jalan raya yang keberadaannya sangat padat sehingga dapat mengancam keselamatan pembalap itu sendiri. Pembalap harus berebut jalan dengan pengguna jalan raya serta bergelut dengan polusi udara yang tidak menyehatkan.

Kelima, atlet Indonesia di tingkat amatir tidak pandai mengatur pola makan sehingga kekuatan fisik yang dimiliki kurang baik. Pada akhirnya pembalap Indonesia kekuatannya  cenderung  tidak merata, karena sebagian mereka mengandalkan kekuatan fisik alami serta tidak diimbangi oleh asupan gizi yang memadai. Seorang pembalap Internasional dan telah beberapa kali menjuarai Tour d’ Franc bernama Greg Lemond dengan pengaturan serta asupan gizi yang baik dibarengi dengan latihan yang sesuai porsi, walaupun dia mempunyai ginjal hanya sebelah saja akan tetapi dia mampu menjuarai berbagai  kejuaran sepeda tingkat dunia berulang-ulang. Saya teringat ketika suatu saat latihan, saya dan kawan-kawan satu  klub akan menjalani route jalan raya dengan jarak 120 km hanya  sarapan pagi makan comro,  padahal menurut ahli gizi  seorang olahragawan wajib mengkonsumsi  makanan yang kaya akan vitamin, karbohidrat dan makanan yang mengandung potasium ketika menjalani latihan sesuai kalori yang dibutuhkan oleh tubuh.

Terakhir yang penting dipikirkan federasi adalah  adanya kepedulian terhadap klub-klub balap sepeda yang ada di daerah. Selama ini klub-klub cenderung mati enggan hidup tak mau, saya melihat keberadaan klub tumbuh seperti  jamur, tumbuh ketika musim hujan tiba dan berhenti ketika musim kemarau. Menurut hemat saya penting dilakukan sejenis perlombaan klub-klub dari mulai kelas amatir, kelas kontinental sampai tingkat nasional dan internasional untuk menuju atlet profesional. Untuk itu perlu mendatangkan pembalap atau pelatih bayaran  dari manca negara sehingga dapat memacu gairah para pembalap dalam negeri untuk bersaing secara profesional. Atau jika perlu dibuat sejenis pertandingan ISL pada pertandingan sepakbola. Sehingga dapat terjalin kompetisi yang kontinyu serta dapat melahirkan bibit-bibit muda potensial.

Akan tetapi saya optimis dengan perkembangan akhir-akhir ini dimana khalayak bahkan para pejabat banyak yang mencanangkan bike to work  dan tumbuh klub-klub balap sepeda yang mumpuni, mudah-mudahan awal yang baik ini merupakan kebangkitan bagi dunia persepedaan terutama balap sepeda di Indonesia, serta dapat memancing gairah dan keinginan  generasi muda  untuk menjadi pebalap sepeda profesional. Saya sedikit lega ketika mengikuti perkembangan perhelatan Tour d’ Indonesia beberapa waktu yang lalu, dan pembalap Indonesia (Bambang Supriadi) dapat mengenakan kaus kuning  dan memakainya selama empat hari balapan. Ini adalah petanda yang baik, dan semoga harapan itu tidak cuma satu kali.  Akhirnya kepedulian federasi sangat dinanti, dan kita tunggu kiprah para praktisi balap sepeda dan pesepeda di Indonesia sehingga akan lahir pesepeda sekelas Contador.






BELAJAR DARI SEORANG ISTRI YANG SABAR


Ketika kawan saya mengendarai mobil, begitu tergesa-gesanya karena katanya takut tidak tepat waktu sampai ditujuan, dia tidak perdulikan kanan, kiri, belakang dan depan yang penting prinsip dia sama dengan prinsipnya pengendara bus antar kota. Ketika kepala mobil masih dapat masuk diantara deretan mobil menurutnya pasti seluruh badan mobil akan lolos dan berhasil menyalib. Saya was-was dibuatnya, walaupun memang ketika itu kami selamat sampai tujuan.
Dari kejadian itu saya dapat  pelajaran, ternyata ketika sampai di tujuan kami masih terlambat, dan di luar dugaan kedatangan kami tidak jauh berbeda dengan teman lain yang berangkatnya bersamaan, akan  tetapi tidak ngebut seperti kawan saya yang mobilnya saya tumpangi. Setelah saya cek perbedaan tiba kedua mobil tadi, ternyata hanya  10 menit. Perbedaan yang menurut saya tidak terlalu jauh, toh akhirnya sama-sama juga terlambat. Jika saja ada kejadian yang tidak diinginkan dari perjalanan tadi maka menurut saya paling tidak ada tiga hal yang hilang yaitu, kendaraan rusak, tidak dapat menghadiri acara, dan yang paling fatal seandainya terjadi kecelakaan dan merengut nyawa. Maka kerugian akan diderita teman saya, saya sendiri dan penumpang yang lain. Dari peristiwa itu kita dapat menarik hikmah bahwa ternyata kesabaran sangat diperlukan dari segala aspek. Kesabaran bukan hanya dapat menolong diri sendiri, akan tetapi kesabaran dapat menolong orang lain, makhluk sekitar serta dapat menolong kita baik di dunia dan akherat.
Tentang kesabaran, saya teringat akan peristiwa yang dialami kawan saya. Cerita ini diceritakan kepada saya dua bulan yang lalu, dan dia mempersilakan seandainya cerita ini disampaikan untuk kepentingan dakwah. Mudah-mudahan cerita ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan saya akan menceritakan kisah ini dengan gaya aku.
Dua tahun aku membangun mahligai rumah tangga, walaupun entah apa yang membuat aku menikah dengannya, jujur aku tidak tertarik padanya, sebab menurutku apanya yang menarik dari istriku, pengetahuan agama kurang, wajah biasa, cakap juga tidak, apapun menurutku  semuanya standar saja. Tapi pada akhirnya aku harus mencoba untuk menyayanginya dan  aku berusaha untuk menyadari bahwa ini sudah suratan dariNYA. Inilah resikonya ketika pasangan hidup ditentukan oleh pilihan orang tua. Terus terang aku memilihnya hanya karena aku tidak ingin membuat luka  hati kedua orang tuaku.
Rasanya lelah aku mempunyai pasangan hidup seperti istriku, segalanya serba harus ku bantu, cuma  satu hal yang dikerjakan istriku dan rutin dia kerjakan adalah mengikuti pengajian seperti tidak ada bosannya. Walaupun hati kecilku pernah berujar, istriku ahli beribadah. Tapi saat ini aku berpendapat segala macam yang istriku perbuat sama sekali tidak mampu memuaskan hatiku. Masakannya kemasinan, cuciannya kurang bilas, ngurus diri sendiri saja tak becus, dan aku perhatikan setiap yang istriku kerjakan semuanya salah dan salah.  Dalam sehari minimal aku bisa memarahinya seperti minum obat satu hari tiga kali, tapi aku akui istriku tak pernah menimpali perkataan yang aku lontarkan. Biasanya ketika aku ngerutuk, jawabanya adalah air yang keluar dari pelupuk matanya.  Pikirku,...ugh...dasar wanita...air mata jati senjata,..
Hari itu aku tidak berangkat kerja,..istriku berkata,.”pa...boleh ngak..ibu diantar ke pengajian, mumpung bapa ada?.,aku menjawab spontan,...jadi aku tidak disuruh istirahat ya,..biasanya khan tidak ada yang ngantar. Sendiri aja sana.!, istriku hanya diam tanpa menjawab perkataanku, dia hanya tersenyum, sembari berkata, pa ...ibu berangkat dulu ya,...seraya menghampiri  dan mencium tanganku. Dia berangkat dengan langkah gontai, dengan pakaian ala penganut syiah, dengan gamis dan jilbab panjang, dan sepengetahuanku hanya itu-itu saja yang dia pakai, dan membuatku bosan melihatnya. Taat sih taat,.. tapi kalau melihat penampilan seperti itu, siapa tidak pusing dibuatnya.  Memang dalam nukilan salah satu hadits para wanita tidak diperbolehkan berdandan berlebihan, tapi apa salahnya kalau memang untuk suaminya, menurutku sah-sah saja jika istriku besolek sedikit saja, jangan sampai aku dibuat malu oleh orang lain atas tindakannya.
Petang itu, hampir menjelang maghrib tak biasanya istriku belum pulang.  Walaupun aku tak biasa mengantarnya tapi hari itu firasatku kurang enak. Pikiranku negatif,  terang saja sebab ketika itu selain hujan gerimis, istriku sedang hamil tua sedangkan dia mengendarai kendaraan roda dua sendirian. Seculas-culasnya suami pasti khawatir terhadap istri yang sedang hamil tua dan mengandung anak pertama.
Dengan hati ikhlas tapi tak rela bercampur waswas, aku  beringsut menyusul istriku dengan perasaan ngedumel menyalahkannya, dalam hatiku berkata,  coba ..tadi khan sudah aku bilangin kenapa tak  mau memakai mobil, biar butut tapi khan ngak kehujanan, kalau sudah begini aku juga yang repot,  dasar istri kualat, gumamku. Padahal ketika istriku berangkat aku tidak pernah memberi izin istriku untuk memakai kendaraan roda empat, semenjak istriku menambrak trotoar setengah tahun setelah menikah.
Sampai di masjid dimana istriku tempat mengikuti pengajian, aku berhenti dan perasaanku lega sebab ku lihat ternyata masih banyak orang di masjid serta hadir bapak-bapak yang mau menjemput istrinya dan sepertinya orang berada, pengusaha dan orang-orang kantoran. Aku sempat keder, sebab aku hanya pengusaha kelas teri, namanya saja pengusaha kecil dan menengah.  Tapi aku cuek saja, sambil bertanya kepada pria perlente kepala plontos, pak belum pulang ya?,..Belum pak, ..jawabnya...katanya sih ada rapat setelah acara liqa’ jadi pulangnya terlambat. Oh...gitu ya...aku tersenyum sambil menganggukan kepala. Terpaksa menunggu  walaupun sudah tahu keberadaan istriku dan hujan mulai reda, tapi aku tetap menghawatirkannya, maka sambil menunggu istri masing-masing, aku ngobrol ngalor-ngidul.
Kulihat satu persatu jamaah keluar dari mesjid, aku perhatikan pakaian ibu-ibu pengajian itu begitu bagus-bagus dipadu jilbab yang rapi, make up yang manis plus sepatu mahal yang dipakainya. Dimana istriku...gumamku, seraya melihat ke arah pintu masjid,..nah..itu bidadariku, kulihat sosok wanita sederhana memakai gamis abu-abu, jilbab panjang warna putih berjalan gontai keluar dari masjid, seraya menghampiri teras mesjid mengambil sandal jepit yang terhimpit diantara sandal dan sepatu yang mewah.  Tak terasa...tes..tes...tes,..air mata meleleh dari kedua bola mataku. Aku tak tega melihat istriku memungut sandal jepit diantara tumpukan sandal dan sepatu yang mewah. Hatiku terketuk,..aku baru menyadari, betapa aku sibuk dengan kelemahan istriku, menonjolkan keburukan istriku, dan banyak menyalahkan istriku.  Sedangkan sandal istri saja tak pernah aku pikirkan, terlebih baju bagus. Padahal istri itu adalah perhiasan bagiku, yang wajib aku perhatikan seperti yang telah aku janjikan di dalam sighot taklik ketika aku ijab kabul. 
Aku baru sadar, betapa aku mendholiminya, aku telah menuntut banyak hal tapi tak pernah mencukupi kebutuhannya.  Bagaimana mau cantik kalau lipstik murah saja tidak ku belikan, bagaimana mau menarik jika baju saja cuma satu kali satu tahun aku belikan itupun di pasar loakkan, sudah wajar kalau makan kemasinan jika didapur cuma banyak garam sedangkan bumbu lain cuma segenggam. Sungguh salut aku pada bidadariku, biar uang belanja kutakari dia sanggup menutupinya dengan cara memberikan les privat matematika di komplek perumahan tanpa kata mengeluh.
Tak terasa, aku menanggalkan rasa maluku, diantara orang-orang yang melongo menatapku, aku berlari menghampiri bidadariku dan tanpa sepengetahuannya, kurangkul sambil menangis meledak sesegukkan. Aku sungguh beruntung mempunyai pendamping hidup sesabar dirimu, yang jika ditegur selalu menundukkan pandangan, tersenyum atau menangis manja.  Sekarang tak boleh lagi dirimu menagis karena ulahku, tapi menagislah karena rasa bahagia berdampingan denganku.
Dari kisah nyata ini kita beroleh pelajaran, begitu dahsyatnya kesabaran seorang istri yang mampu menaklukan hati seorang suami yang keras bagai batu. Keyakinan seorang istri dapat terwujud ketika istri pandai bersabar demi keutuhan rumah tangga. Saya pernah bertemu dengan istri si empunya cerita, menurutnya dia begitu lama mempelajari tabi’at suaminya, dan dia yakin bahwa suaminya punya dasar dan keturunan orang yang shaleh, dan dia yakin suaminya dapat menjadi baik jika dia sabar menghadapinya, dia telah membuktikan perkataannya serta berhasil menyadarkan suaminya.  
Sabar mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan, padahal sesungguhnya sabar adalah perintah Allah yang memberikan pahala jika kita kuat dalam melakukan kesabaran, difirmankan oleh Alloh  : “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu” (QS. Ali Imran [3]  200).
Selanjutnya dalam firman Alloh yang lain : “ Dan, sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS Al-Baqarah [2] :155)
            Seringkali kita tidak sabar ketika dihadapkan pada peristiwa yang sulit, padahal sesungguhnya kita sedang diberikan ujian yang hakekatnya dapat kita hadapi, sebab Alloh tidak pernah memberikan ujian di luar batas kemampuan diri kita. Ujian itu ibarat kita mengendarai kendaraan, kapan kita belok, kapan menginjak rem, kapan menginjak gas, dan kita harus dapat mengendalikannya dengan kesabaran serta kehati-hatian dalam mengendarainya.
Terakhir saya mengutip tulisan Dr Muhammad Syafi’i Antonio,MEc, “Sabar di zaman sekarang kuncinya 5 T yaitu :  Teguh pada prinsip, Tabah, Tekun, Tidak cepat putus asa, dan Tahapan menuju sukses”.